KONSELING
REALITAS
A.
PANDANGAN
TENTANG MANUSIA
Glasser percaya
bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan psikologis yang secara terus menerus
hadir sepanjang rentang kehidupan yang harus di penuhi, ketika seseorang
mengalami masalah, hal tersebut di sebabkan oleh satu faktor , yaitu
terhambatnya seseorang dalam memenuhi kebutuhan psikologisnya. Keterhambatan
tersebut pada dasarnya karena penyangkalan terhadap realita yaitu kecenderungan
seseorang untuk menghindari hal-hal yang menyenangkan (thompson
,et.al.,2004,p.111).mengacu pada teori hirarki kebutuhan yang di kemukakan oleh
maslow, glasser mendasari pandanganya tentang kebutuhan manusia untuk di cintai
dan mencintai , dan kebutuhan untuk
merasa berharga bagi orang lain.
Secara
lebih rinci Glesser menjelaskan kebutuhan – kebutuhan dasar psikologis manusia,
meliputi:
a.
Cinta
Salah satu kebutuhan
psikologis manusia adalah kebutuhanya untu meresa memiliki atau terlibat diri
dengan orang lain.kebutuhan ini di sebut dengan identity society, yang
menekankan pentingnya hubungan personal. Contohnya persahabatan, acara
perkumpulan tertentu, dan keterlibatan dalam organisasi kemahasiswaan.
b.
Kekuasaan
Kebutuhan akan
kekuasaan (power) meliputi kebutuhan untuk berprestasi merasa berharga dan
mendapatkan pengakuan.kebutuhan ini biasanya di ekspresikan melalui kompetisi dengan
orang-orang di sekitar kita, memimpin, mengorganisir, menyelesaikan pekerjaan
sebaik mungkin, meminta pendapat bagi orang lain, melontarkan ide dll.
c.
Kesenangan
Merupakan kebutuhan
untuk merasa senang,bahagia.pada kanak-kanak terlihat dalam aktifitas
bermain.kebutuhan ini muncul sejak dini,kemudian terus berkembang hingga kepenatan, bersantai, melucu, humor, dsb.
d.
Kebebasan(freedom)
Kebebasan merupakan kebutuhan untuk
merasakan kebebasan atau kemerdekaan dan tidak bergantung dengan orang
lain.misalnya membuat pilihan (aktif pada organisasi kemahasiswaan), bergerak
berpindah dari satu tempat ketempat lain, kebutuhan tersebut berbentuk
universal, tetapi di penuhi dengan cara yang unik oleh masing-masing
manusia.tingkah laku yang bertanggung jawab merupakan upaya manusia mengontrol
ligkungan untuk memenuhi kebutuhan dan menghadapi realita yang di alami oleh
kehidupannya.dalam proses pembentukan identitas individu mengembangkan
keterlibatan secara emosional dengan orang lain.individu perlu merasakan keterlibatan orang lain,
kedekatan, kehangatan psikologis, dan
ikatan emosional. Jika kebutuhan psikologisnya sejak awal tidak terpenuhi, maka
seseorang tidak mendapatkan pengalaman belajar bagaimana memenuhi kebutuhan psikologis
dirinya atau orang lain. Belajar bagaimana bertingkah laku yang bertanggung
jawab merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan anak untuk mencapai
identitas suksesnya, anak memperoleh hal itu dengan cara terlibat dalam
aktifitas yang memenuhi kebutuhanya melalui interaksi dengan orang tua nya.jika
kebutuhan psikologi anak tidak terpenuhi sejak awal, maka seseorang tidak
mendapatkan pengalaman belajar bagaimana memenuhi kebutuhan psikologis dirinya
atau orang lain.
Dapat
dirumuskan pandangan glasser tentang manusia adalah sebagai berikut:
1. Setiap individu bertanggung terhadap
kehidupanya.
2. Tingkah
laku seseorang merupakan upaya mengontrol lingkungan untuk memenuhi
kebutuhannya.
3. Individu
di tantang untuk menghadapi realita tanpa mempedulikan kejadian-kejadian di
masa lalu,serta tidak memberi perhatian pada sikap dan motivasi
4. Setiap
orang memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu pada masa kini.
B.
KONSEP
DASAR
Pada
dasarnya setiap individu terdorong untuk memenuhi kebutuhan dan keinginanya
dimana kebutuhan bersifat unuversal pada semua individu sementara ke inginan
bersifat unik pada masing-masing individu.
Teori kepribadian
Glasser berpandangan bahwa semua manusia
memiliki kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis dan psikologis. Perilaku
manusia dimotivasi untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut. Kebutuhan
fisiologis yang dimaksud adalah sama dengan pandangan ahli lain, sedangkan
kebutuhan psikilogis manusia menurut glasser yang mendasar ada dua macam yaitu
: (1) kebutuhan dicintai dan mencintai, dan (2) Kebutuhan akan penghargaan
(George dan Cris-tiani, 1990). Kedua kebutuhan psikologis itu dapat digabung
menjadi satu kebutuhan yang sangat utama yang disebut kebutuhan identitas
(identity)
Identitasnya merupakan cara seseorang
melihat dirinya sendiri sebagai manusia dalam hubungannya dengan orang lain dan
dunia luarnya. Setiap orang mengembangkan gambaran identitasnya ( identity
image) berdasarkan atas pemenuhan kebutuhan psikologisnya. Anak yang berhasil
menemukan kebutuhannya, yaitu terpenuhinya kebutuhan cinta dan penghargaan akan
mengembangkan gambaran diri sebagai orang yang berhasil dan membentuk
identitasnya dengan (success identity) sebaliknya jika anak yang gagal
menemukan kebutuhannya, akan mengembangkan gambaran diri sebagai orang yang
gagal dan membentuk identitasnya dengan identitas kegagalan (failure identity).
Untuk mengembangkan identitas keberhasilan,
individu harus memiliki dua kebutuhan dasar yang dijumpai, yaitu (1) mengetahui
bahwa setidaknya seseorang mencintainya dan dia mencintai setidaknya seorang,
dan (2) memandang dirinya sebagai orang yang berguna selain secara simultan
berkeyakinan bahwa orang lain melihatnya sebagai orang yang berguna. Kedua
kebutuhan ini (cinta dan berguna) ada pada individu, bukan salah satunya.
Kedua
kebutuhan dasar ini ada dan terbentuk sejak masa kanak-kanak. sepanjang
berinteraksi dengan orangtua atau pihak lain yang terdekatnya (significant
others), anak mempelajari bagaimana mencintai dan menghargai orang lain. Anak
pada mulanya mengamati bagaimana orangtuanya mencintai dan menghargai dirinya.
Bermula dari pengalaman-pengalaman pnya dalam memperoleh cinta dan penghargaan
dari orang tua itu anak akan merasakan apakah kebutuhannya tercapai atau tidak.
Dengan demikian konseling Realitas
sebagian besar memandang individu pada prilakunya, tetapi berbeda dengan
behavioral yang melihat prilaku dalam konteks hubungan stimulus respon, dan
berbeda pula dengan pandangan konsling berpusat pada person yang melihat
prilaku dalam konteks venomenologis. Prilaku dalam pandangan konsling realitas
adalah prilaku dengan standar yang obyektif yang dikatakan dengan
"reality".
Teori kontrol
Penerimaan
terhadap realita, menurut glasser harus tercermin dalam perilaku total(total
behavior) yang mengandung empat komponen yaitu berbuat (doing), berpikir(thinking),
merasakan (fiiling), dan menunjukan respon-respon fisiologis (phsysiology).
Glesser
dalam corey (1991:524) menjelaskan bahwa secara langsung merubah cara kita
merasakan terpisah dari apa yang kita lakukan dan pikirkan, merupakan hal yang
sangat sulit dilakukan.meskipun demikian, kita memiliki kemampuan untuk apa
yang kita lakukan dan pikirkan apapun yang mungkin bisa kita rasakan. Oleh
karena itu, kunci untuk mengubah apa yang kita lakukan dan pikirkan apapun yang
mungkin kita bisa rasakan.perilaku total terletak pada pemilihan untuk mengubah
apa yang kita lakukan dan pikirkan. Sehingga tindakan dan pikiranlah yang
berperan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu.
Ketika
seseorang berhasil memenuhi kebutuhanya orang tersebut mencapai idetitas
sukses.pencapaian identitas sukses ini terkait pada konsep 3R yaitu
resposibility (bertanggung jawab), reality(realita) dan right(benar).
Konsep
3R
·
Responsibilty
(tanggung jawab)
Adalah kemampuan
individu untuk memenuhi kebutuhannya tanpa harus merugikan orang lain.
·
Reality
(kenyataan)
Adalah kenyataan yang
akan menjadi tantangan bagi individu untuk memenuhi kebutuhannya. Setiap
individu harus memahami bahwa ada dunia nyata, di mana mereka harus memenuhi
kebutuha-kebutuhan dalam rangka mengatasi masalahnya. Realita yang dimaksud
adalah sesuatu yang tersusun dari kenyataan yang ada dan apa adanya.
·
Right
(kebenaran)
Merupakan aturan atau
norma-norma yang diterima secara umum, sehingga tingkah laku dapat
diperbandingkan. Individu yang melakukan hal ini mampu mengevaluasi diri
sehingga bila melakukan sesuatu melalui perbandingan tersebut dan ia merasa
nyaman bila mampu bertingkah laku dalam tata cara yang diterima secara umum.
C.
PROSEDUR
KONSELING
Untuk
mencapai tujuan-tujuan konseling itu, ada prosedur yang harus diperhatikan oleh
konselor realitas, yaitu:
1. Berfokus
pada personal
Prosedur utama adalah
mengkomunikasikan perhatian konselor kepada klien. Perhatian itu ditandai oleh
hubungan hangat dan pemahamannya ini merupakan kunci keberhasilan konseling.
Keterlibatan yang dicapai konselor dapat menjadi fungsi kebebasan, bertanggung
jawab dan otonomi pada klien.
2. Berfokus
pada perilaku
Konseling realitas
berfokus pada perilaku tidak pada perasaan dan sikap. Konselor dapat meminta
klien untuk “melakukan sesuatu menjadi lebih baik” dan bukan memita klien
“merasakan yang lebih baik”. Antara perasaan dengan perilaku pada dasarnya
memiliki hubungan.
3. Berfokus
pada saat ini
Konseling realitas
memandang tidak perlu melihat masa lalu klien. Konselor tidak perlu melakukan
eksplorasi terhadap pengalaman-pengalaman yang irrasional di masa lalunya, hal
ini sejalan dengan tujuan konseling menurut Glasser ada 3 tahap, yaitu:
1) Melihat
perilakunya (yang terakhir) adalah yang tidak realistik
2) Menolak
perilaku klien yang tidak bertanggung jawab
3) Mengajarkan
cara yang terbaik menemukan kebutuhannya dalam dunia riil.
4.
Pertimbangan nilai
Konseling realitas
menganggap pentingnya melakukan pertimbangan nilai. Klien perlu menilai
kualitas perilakunya sendiri apakah perilakumya itu bertanggung jawab,
rasional, realistik dan benar atau sebaliknya. Penilaian perilakunya oleh diri
klien akan membantu kesadarannya tentang dirinya untuk melakukan hal-hal yang
positif atau mencapai identitas keberhasilan.
5. Pentingnya
perencanaan
Kesadaran klien tentang
perilakunyayang tidak brertanggung jawab harus dilanjutkan dengan perencanaan
untuk mengubahnya menjadi perilaku yang bertanggung jawab. Konseling realitas
beranggapan konseling harrus mampu menyusun rencana-rencana yang realistik
sehingga tingkah lainnya menjadi lebih baik, menjadi orang yang memiliki
identitas keberhasilan. Untuk mencapai hal ini konselor bertugas membantu klien
untuk memperoleh pengalaman berhasil pada tingkat-tingkat yang sulit secara
progresif.
6. Komitmen
Klien harus memiliki komitmen
atau keterikatan untuk melaksanakan rencana itu. Komitmen ditunjukkan dengan
kesediaan klien sekaligus secara riil melaksanakan apa yang direncanakan.
Konselor terus menyakinkan klien bahwa kepuasan atau kebahagiaanya sangat
ditentukan oleh komitmen pelaksanaan rencana-rencananya.
7. Tidak
menerima dalih
Ketika klien melaporkan
alasan-alasan kegagalan ini, sebaliknya konselor menolak menerima dalih/
alasan-alasan yang dikememukakan klien. Justru saat itu konselor perlu membuat
reencana dan membuat komitmen baru untuk melaksanakan upaya lebih lanjut. Yang
lebih penting bagi konselor adalah menanyakan apa rencana lebih lanjut dan
kapan mulai melaksanakannya.
8. Menghilangkan
hukuman
Konseling realitas
tidak memperlakukan hukuman sebagai tteknik pengubahan perilaku. Hukuman yang
biasanya dilakukan dengan kata-kata yang mencela dan menyakitkan hati klien
harus dihilangkan, setidaknya dalam hubungan konseling. Glesser menganjurkan
agar klien tidak dihikum dalam bentuk apa pun dibiarkan belajar mendapatkan
konsekuensi secara wajar dari perilakunya sendiri.
D.
PROSES
KONSELING
Pendekatan
ini melihat konseling sebagai proses rasional yang menekankan pada perilaku
sekarang dan saat ini. Artinya, konseli ditekankan untuk melihat perilakunya
yang dapat diamati dari pada motif-motif bawah sadarnya. Dengan demikian,
konseli dapat mengevaluasi apakah perilakunya tersebut cukup efektif dalam
memenuhi kebutuhanya atau tidak. Jika dirasa perilaku-perilaku yang ditampilkan
tidak membuat konseli merasa puas, maka konselor mengarahkan konseli untuk
melihat peluang-peluang yang dapat di lakukan dengan merencanakan tindakan yang
lebih bertanggung jawab. Perilaku yang bertanggung jawab merupakan
perilaku-perilaku yang sesuai denan kenyataan yang dihadapi, oleh Glasser
disebut sebagai penerimaan terhadap realita. Dengan demikian, dapat
membantu konseli mengatasi
tekanan-tekanan dan permasalahan yang dialaminya.
Menurut
Glasser, hal-hal yang membawa perubahan sikap dari penolakan ke penerimaan
relaitas yang terjadi dalam proses konseling adalah (Corey, 1991:533-536) :
·
Konseli dapat mengeksplorasi keinginan,
kebutuhan, dan apa yang dipersepsikan tentang kondisi yang dihadapinya. Disini
konseli terdorong untuk mengenali dan mendefinisikan apa yang mereka inginkan
untuk memenuhi kebutuhannya. Setelah mengetahui apa yang diinginkan, konseli
lalu mengevaluasi apakah yang ia lakukan selama ini memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut.
·
Konseli fokus pada perilaku sekarang
tanpa terpaku pada permasalahan masa lalu. Tahap ini merupakan keadaran konseli
untuk memahami bahwa kondisi yang dialaminya bukanlah hal yant bisa dipungkiri.
Kemudian mereka mulai menentukan alternative apa saja yang harus dilakukan.
Disini konseli mengubah perilaku totalnya, tidak hanya sikap dan perasaan,
namun yang diutamakan adalah tindakan dan pikiran.
·
Konseli mau mengevaluasi perilakunya,
merupakan kondisi dimana konseli membuat penilaian tentang apa yang telah ia
lakukan terhadap dirinya berdasarkan sistim nilai yang berlalaku di masyarakat.
Apakah yang ia lakukan dapat menolong dirinya atau sebaliknya, apakah hal itu
bermanfaat, sudahkah sesuai dengan aturan, dan apakah realistis atau dapat
dicapai. Mereka menilai kualitas perilakunya, sebab tanpa penilaian pada diri
sendiri, perubahan akan sulit terjadi, Evaluasi ini mencakup seluruh komponen
perilaku total.
·
Konseli menetapkan perubahan yang
dikehendakinya dan komitmen terhadap apa yang telah direncanakan.
Rencana-rencana yang telah ditetapkan harus sesuai dengan kemampuan konseli,
bersifat konkrit atau jelas bagian mana dari perilakunya yang akan dirubah,
realistis dan melibatkan perbuatan posstif. Rencana itu juga harus dilakukan
berulang-ulang.
E.
TAHAP-TAHAP
KONSELING
Proses
konseling dalam Pendekatan realitas berpedoman pada dua unsur utama, yaitu
penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif dan beberapa prosedur yang menjadi
pedoman untuk mendorong terjadinya perubahan pada konseli. Secara praktis,
Thompson, et. Al. (2004:115-120) mengemukakan delapan tahap dalam Konseling
Realita.
Tahap 1 : Konselor Menunjukkan
Keterlibatan dengan Konseli (Be Friend)
Pada
tahap ini, konselor mengawali pertemuan dengan bersikap otentik, hangat, dan
menaruh perhatian pada hubunganyang sedang di bangun, konselor harus dapat
melibatkan diri pada konseli dengan memperlibatkan sikap hangat dan ramah.
Hubungan yang terbangun antara konselor dan konseli sangat penting, sebab
konseli akan terbuka dan bersedia menjani proses konseling jika dia merasa
bahwa konselornya terlibat, bersahabat, dan dapat dipercaya. Oleh karena itu,
penerimaan yang positif adalah sangat esensial agar proses konseling berjalan
efektif.
Menunjukkan
keterlibatan dengan konseli dapat ditunjukkan dengan perilaku attending. Perilaku ini tampak pada
kontak mata (menatap konseli), ekspresi wajah (menunjukkan minatnya tanpa di
buat-buat), duduk dengan sikap terbuka (agak maju kedepan dan tidak bersandar),
poros tubuh agak condong dan diarahkan ke konseli, melakukan respon refleksi,
memperhatikan perilaku nonverbal konseli, dan melakukan respons parafrase.
Selsain
itu, konselor menunjukkan sikapbersahabat. Pada tahap awal, umumnya konseli
menunjukkan tidak membutuhkan bantuan konselor, terlebih bila konseli tidak
datag dengan sukarela, Meskipau konseli menunjukkan ketidaksenangan, marah,
atau bersikap tidak berkenan, dan sebagainya, Konselor harus tetap menunjukkan
sikap ramah da sopan, tetap tenang, dan tidak mengintimidasi konseli. Kalimat
yang diungkapkan konselor harus menunjukkan konselor bersahabat dengan konseli.
Respon yang diungkapkan juga tidak mengekspresikan apa yang sedang dilakukan
oleh konseli pada saat itu, tetapi menunjukkan kekuatan dan fleksibilitas
konseli, bukan kelemahan dan kekuatan konseli. Mengapa? Karena pada dasarnya
konseli bukan sedang marah pada konselor. Oleh karena itu, respon konselor
harus mengandung muatan bahwa ia sedang menyampaikan terkadang marah bukanlah
sebuah kesalahan, sebab dalam keadaan tertentu, marah kadang menjadi pilihan.
Berikut adalah contoh respons yang menunjukkan sikap diatas.
Konseli : “Sebenarnya
saya tidak perlu bantuan Ibu, saya sudah tahu apa yang akan ibu sarankan kepada
saya. Percuma lah bu, buang-buang
waktu saja. Lagi pula selama ini juga tidak ada yang peduli dengan saya….”
Konselor : “Saya
bisa membantu Anda kalau Anda bersedia mendiskusikan hal tersebut dengan saya.”
Konselor
juga perlu menunjukkan bahwa ia bertekad membantu konseli. Konseling realita
selalu berpedoman bahwa perilaku total (total behavior) hampir selalu dipilih.
Karenanya perilaku yag lebih efisien dan lebih membantu diperlukan bagi konseli
yang sedang menghadapi masalah.
Konseli : “Ibu
pasti mengira bahwa depresi yang saya alami hanya bersifat sementara….”
Konselor : “Tidak
pernah terpikir dalam benak saya Anda akan mengalami hal itu selamanya,”
Keterlibatan
dengan konseli juga dapat ditunjukkan dengan sikap antusias. Konseli akan
merasa bahwa ia benar-benar akan dibantu oleh konselor apabila konselor selalu
menunjukkan sikap antisias. Sikap antusias juga menggambarkan pemandangan
konselor yang optimis terhadap konseli. Selain itu, sikap antusias menunjukkan
bahwa konselor benar-benar terlibat dan mau melibatkan diri dalam proses
konseling.
Hal
yang penting sekali dalam proses konseling, konselor juga harus bersikap
genuine. Melalui proses konseling, konseli belajar bahwa mental yang sehat
kehidupan akan menjadi lebih baik jika relasi antar manusia didasari saling
keterbukaan dan apa adanya dari pada bersikap pura-pura dan manipulasi. Oleh
karena itu, bersikap jujur dan berterus terang dengan konseli juga sangat
penting.
Konselor
juga tidak menghakimi konseli atau tidak memberi penilaian atas apa yang telah
dilakukan konseli. Dengan demikian,
konselor dapat memahami apapun yang telah dilakukan konseli, merupakan pilihan
terbaik yang dilakukannya pada saat itu. Dalam konteks ini, biasanya konseli
berharap konselor akan mendiskusikan keberhasilan konseli. Hal ini berarti
konselor mengajak konseli untuk melihat kebutuhan lain yang ada dalam dirinya
daripada berkutat pada permasalahan yang dialami yang pada dasarnya bersifat
sementara. Meskipun pada tahap-tahap konseling selanjutnya, konseli akan
dihadapkan pada pokok permasalahan yang sedang dialaminya.
Konseli : “Sudah
satu tahun ini saya mengenal putaw dan merasa tenang setelah mengkonsumsinya.”
Konselor : “Kapan
terkhir kali Anda pernah tidak menggunakan putaw dan tetap merasa tenang?”
Tahap 2 :Fokus pada Perilaku
Sekarang
Setelah
konseli dapat melibatkan diri kepada konselor, maka konselor menanyakan pada
konseli apa yang akan dilakukannya sekarang. Tahap kedua ini merupakan
eksplorasi diri bagi konseli. Konseli mengungkapkan ketidaknyamanan yang ia
rasakan dalam menghadapi permasalahannya. Lalu konselor meminta konseli
mendeskripsikan hal-hal apa saja yang telah dilakukan dalam menghadapi kondisi
tersebut. Secara rinci tahap ini melipuhti :
·
Eksplorasi “picture album” (keinginan),
kebutuhan dan persepsi
·
Menanyakan keinginan-keinginan konseli
Konselor : “Saya
akan membantu Anda jika Anda bersedia mendiskusikan apa yang sedang Anda
alami.”
Konseli : “Saya
baik-baik saja kok.”
Konselor : “saya
juga berharap seperti itu, tapi mungkin ada yang ingin Anda sampaikan dengan
kedatangan Anda ke sini.”
Konseli : “Sudah
satu tahun belakangan saya mengenal putaw dan merasa tenang setelah
menkomsumsinya.”
Konselor : “Apa
yang Anda inginkan dengan mengkonsumsi putaw ?”
Konseli : “Kondisi
keluarga membuat saya tertekan dan saya memperoleh ketenangan dengan
mengkonsumsi putaw.”
· Menanyakan
apa yang benar-benar diinginkan konseli
Konselor : “Jadi
Anda menginginkan ketenangan ? ketenangan yang bagaimana yang Anda inginkan?”
Konseli : “Saya
pusing, setiap hari mendengarkan pertengkaran orang tua saya.”
Konselor : “Kamu
ingin orang tuamu tidak selalu bertengakar?”
Konseli : “ ya … “
Koselor : Apa
lagi yang benar-benar kamu inginkan ?”
· Menanyakan
apa yang terpikir oleh konseli tentang yang diinginkan orang lain dari dirinya
dan menanyakan bagaimana melihat tersebut
Konselor : “Apa
yang diinginkan orang tua dari Anda ?”
Konseli : “ Mereka ingin saya menjadi penurut, padahal saya
begini karena mereka cuma sibuk bertengkar, tidak pernah memperhatikan saya…”
Pada
tahap kedua ini konselor perlu mengatakan kepada konseli apa yang dapat
dilakukan konselor, yang diinginkan konselor dari konseli, dan bagaimana
konselor melihat situasi tersebut, kemudian membuat komitmen untuk konseling.
Tahap
3 : Mengeksplorasi Total Behavior Konseli
Menanyakan
apa yang dilakukan konseli (doing), yaitu konselor menanyakan secara
spesifik apa saja yang dilakukan konseli; cara pandang dalam Konseling Realita;
akar permasalahan konseli bersumber pada perilakunya (doing), bukan pada
perasaannya. Misal, konseli mengungkapkan setiap kali menghadapi ujian ia
mengalami kecemasan yang luar biasa. Dalam pandangan Konseling Realita, yang
harus diatasi bukan kecemasan konseli, tetapi apa saja yang telah dilakukannya
untuk menghadapi ujian.
Tahap
4: Konseli Menilai Diri Sendiri atau Melakukan Evaluasi
Memasuki
tahap keempat, konselor menanyakan kepada konseli apakah pilihan perilakunya
tidak untuk menilai benar atau salah perilaku konseli, tetapi membimbing
konseli untuk menilai perilakunya saat ini. Beri kesempatan kepada konseli
untuk mengevaluasi, apakah ia cukup terbantu dengan pilihannya tersebut.
Pada
tahap ini, respon-respon konselor diantaranya menanyakan apakah yang dilakukan
konseli dapat membantunya keluar dari permasalahan atau sebaliknya. Konselor
menanyakan kepada konseli apakah pilihan perilakunya itu didasari oleh
keyakinan bahwa hal tersebut baik baginya. Fungsi konselor tidak untuk menilai
benar atau salah perilaku konseli, tetapi membimbing konseli untuk menilai
perilakunya saat ini. Beri kesempatan kepada konseli untuk mengevaluasi, apakah
ia cukup terbantu dengan pilihannya tersebut. Kemudian bertanya kepada konseli
apakah pilihan perilakunya dapat memenuhi apa yang menjadi kebutuhan konseli
saat ini, menanyakan apakah konseli akan tetap pada pilihannya, apakah hal
tersebut merupakan perilaku yang dapat diterima, apakah realitas, apakah
benar-benar dapat mengatasi masalahnya, apakah keinginan konseli realistis atau
dapat terjadi/dicapai , bagaimana konseli memandang pilihan perilakunya,
sehuingga konseli dapat menilai apakah hal tersebut cukup membantunya, dan
menanyakan komitmen konseli untuk mengikuti proses konseling.
Tahap
5: Merencanakan Tindakan yang Bertanggungjawab
Tahap
ketika konseli mulai menyadari bahwa perilakunya tidak meyelesaikan masalah,
dan tidak cukup menolong keadaan dirinya, dilanjutkan dengan membuat
perencanaan tindakan yang lebih bertanggungjawab. Rencana yang disusun sifatnya
spesifik dan konkret. Hal-hal apa yang akan dilakukan konseli untuk keluar dan
permasalahan yang sedang dihadapinya.
Tahap
6: Membuat komitmen
Konselor
mendorong konseli untuk merealisasikan rencana yang telah disusunnya bersama
konselor sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.
Tahap
7: Tidak Menerima Permintaan Maaf atau Alasan Konseli
Konseli
akan bertemu kembali dengan konselor pada batas waktu yang telah disepakati
bersama. Pada tahap ini konselor menanyakan perkembangan perubahan perilaku
konseli. Apabila konseli tidak atau belum berhasil melakukan apa yang telah
direncanaknnya, permintaan maaf konseli atas kegagalannya tidak untuk dipenuhi
konselor. Sebaliknya, konselor mengajak konseli untuk melihat kembali rencana
tersebut dan mengevaluasinya mengapa konseli tidak berhasil. Konselor
selanjutnya membantu konseli merencanakan kembali hal-hal yang belum berhasil
ia lakukan. Pada tahap ini sebaiknya konselor menghindari pertanyaan dengan
kata "Mengapa" sebab kecenderungannya konseli akan bersikap defensive
dan emncari-cari alas an.
Kondisi : Pada
waktu yang telah disepakati (dua minggu setelah sesi sebelumnya) konseli dating menemui konselor. Dalam proses
konseling ia bercerita bahwa dalam waktu dua minggu ini ia tetap cemas ketika
jam pelajaran matematika karena tidak dapat menjawab soal-soal latihan yang
diberikan guru.
Contoh
respon yang salah
Konseli : "Saya
tetap merasa cemas saat pelajaran matematika, pelajarannya sulit …"
Konselor : "Mengapa
kamu merasa sulit?"
Konseli : "Saya
tidak pernah sempat untuk belajar karena PR saya banyak Bu …"
Contoh
respon yang benar
Konseli : "Saya
tetap merasa cemas saat pelajaran matematika, pelajarannya sulit …"
Konselor : "Kamu
bisa menceritakan kepada saya hal-hal yang menghambat kamu tetap merasa
sulit?"
Pada
tahap ini, konselor juga tidak
memberikan hukuman, mengkritik dan berdebat, tetapi hadapkan konseli pada
konsekuensi. Menurut Glasser, memberikan hukuman akan mengurangi keterlibatan
konseli dan menyebabkan ia merasa lebih gagal. Saat konseli belum berhasil
melakukan perubahan, hal itu merupakan pilihannya dan ia akan merasakan
konsekuensi dari tindakannya. Konselor memberi pemahaman pada konseli, bahwa
kondisinya akan membaik jika ia bersedia melakukan perbaikan itu. Selain itu,
konselor jangan mudah menyerah. Proses konseling yang efektif antara lain ditunjukkan
dengan seberapa besar kegigihan konselor untuk membantu konseli. Ada kalanya
konseli mengharapkan konselor menyerah dengan bersikap pasif, tidak kooperatif,
marah atau apatis, namun pada tahap inilah konselor dapat menunjukkan bahwa ia
benar-benar terlibat dan ingin membantu konseli mengatasi permasalahannya.
Kegigihan konselor dapat memotivasi konseli untuk bersama-sama memecahkan
masalah.
Tahap8: Tindak
lanjut
Merupakan
tahap terakhir dalam konseling. Konselor dan konseli mengevaluasi perkembangan
yang dicapai, konseling dapat berakhir atau dilanjutkan jika tujuan yang telah
ditetapkan belum tercapai.
F.
TUJUAN
KONSELING
Secara umum tujuan reality therapi sama dengan
tujuan hidup, yaitu individu mencapai kehidupan dengan sukses identiti. Untuk
itu dia harus bertanggung jawab, yaitu memiliki kemampuan mencapai kepuasan
terhadap kebutuhan personalnya.
Layanan
konseling ini bertujuan membantu konseli mencapai identitas berhasil. Konseli
yang mengetahui identitasnya, akan mengetahui langkah-langkah apa yang akan ia
lakukan di masa yang akan dating dengan segala konsekuensinya. Bersama-sama
konselor, konseli dihadapkan kembali pada kenyataan hidup sehingga dapat
memahami dan mampu menghadapi realitas.
Reality therapi adalah pendekatan yang didasarkan
pada anggapan tentang adanya satu kebutuhan psikologis pada seluruh
kehidupanya; Kebutuhan akan identitas diri, yaitu kebutuhan merasa unik,
terpisah, dan berbeda dengan oranglain. Kebutuhan akan identitas diri merupakan
pendorong dinamika prilaku yang berada di tengah-tengah berbagai budaya
universal.
Kualitas pribadi sebagai tujuan konsling
realitas adalah individu yang memahami dunia riel nya dan harus memenuhi
kebutuhannya dalam kerangka kerja (Framework). Meskipun memandang dunia
realitas antara individu yang satu dengan yang lain dapat berbeda tetapi
realitas itu dapat diperoleh dengan cara membandingkan dengan
orang lain. Oleh karena itu konselor bertugas membantu klien bagaimana
menemukan kebutuhannya.
G.
PERAN
DAN FUNGSI KONSELOR
Konselor
realitas didasarkan pada antisipasi bahwa klien menganggap sebagai orang yang
bertangguna jawab kepada kebaikan dirinya sendiri. Konselor dapat memberikan
dorongan, dengan jalan memuji klien ketika melakukan tindakan secara
bertanggung jawab dan menunjukkan penolakannysa jika klien tidak melakukannya.
Glesser
berkeyakinan bahwa pendidikan dapat menjadi kunci yang efektif bagi hubungan
kemanusiaan, dia menyusun sebuah program untuk membatasi kesalahann dan
kegagalan, dengan memasukkkannnya ke dalam kurikulum yang relevan, mengganti
sistem disiplin hukuman, menciptakan pengalaman belajar, sehingga siswa dapat
memaksimalkan pengalamanya menjadi berhasil, membuat motivasi dan tantangan,
membantu siswa mengembangkan perilaku yang bertangguna jawab, dan menetapkan cara
melibatkan orang tua dan masyarakat dalam kegiatan sekolah yang relevan.
Pendekatan
reality therapy adalah aktif,
membimbing, mendidik dan terapi yang berorientasi pada cognitive behavioral. Metode kontrak selalu digunakan dan jika
kontrak terpenuhi maka proses konseling dapat diakhiri. Pendekatannya dapat
menggunakan “mendorong” atau “menantang”. Jadi pertanyaan “what” dan “how” yang
digunakan, sedangkan “why’ tidak
digunakan. Hal ini sangat penting untuk membuat rencana terus sehingga klien
dapat memperbaiki perilakunya.
Fungsi
konselor dalam pendekatan atau realitas adalah melibatkan diri dengan konseli,
bersikap direktif dan didaktik, yaitu berpean seperti guru yang mengarahkan dan
dapat saja mengkonfrontasi, sehingga konseli mampu menghadapi kenyataan.
Disini, terapis sebagai fasilitator yang membantu konseli agar bias menilai
tingkah lakunya sendiri secara realistis.
DAFTAR
PUSTAKA
Latipun. 2006. Psikologi
Konseling. Malang: UMM Press
Gantina. Eka dan Karsih. 2011. Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: PT Indeks
Tidak ada komentar:
Posting Komentar