KONSELING
KELUARGA
A. PENGERTIAN KONSELING KELUARGA
Konseling keluarga
pada dasarnya merupakan penerapan konseling pada situasi yang khusus. Konseling
keluarga ini secara khusus memfokuskan pada masalah-masalah yang berhubungan
dengan situasi keluarga dan penyelenggaraannya melibatkan anggota keluarga.
Menurut D. Stanton
konseling keluarga dapat dikatakan sebagai konseling khusus karena sebagaimana
yang selalu dipandang oleh konselor terutama konselor keluarga, konseling
keluarga sebagai (1) sebuah nodalitas yaitu klien adalah anggota dari suatu
kelompok, yang (2) dalam proses konseling melibatkan keluarga inti atau
pasangan (Capuzzi, 1991).
Konseling keluarga
memandang keluarga cara keseluruhan bahwa anggota keluarga adalah bagian yang
tidak mungkin dipisahklan dari anak (klien) baik dalam melihat permasalahannya
maupun penyelesaiannya. Sebagai suatu sistem permasalahan yang dialami seorang
anggota keluarga akan efektif diatasi jika melibatkan anggota keluarga yang
lain.
Menurut Crane (1995)
salah seorang konselor behavioral, konseling keluarga merupakan proses
pelatihan terhadap orangtua dalam hal metode mengendalikan perilaku yang
positif dan membantu orangtua dalam perilaku yang dikehendaki. Dalam pengertian
ini konseling keluarga tidak bermaksud untuk mengubah kepribadian, sifat, dan
karakter orang-orang yang terlibat, tetapi lebih mengusahakan perubahan dalam
sistem keluarga melalui pengubahan perilaku, utamanya orangtua. Asumsi yang
dikembangkan adalah pengubahan perilaku dari anggota sistem yang signifikan
(orangtua) akan mengarah perubahan secara tibal balik (reciprocal) terhadap perilaku anggota sistem yang lain. Dengan
demikian perubahan perilaku orangtua atau orang yang berpengaruh menjadi fokus
dalam mengubah perilaku anggota keluarga lain (klien) yang merupakan akibat
dari perilakunya.
Atas dasar
penjelasan-penjelasan diatas jelas bahwa dalam konseling keluarga yang menjadi
unit terapi adalah keluarga sehubungan dengan masalah yang dihadapi oleh
anggota keluarga tersebut. Hal tersebut berbeda dengan konseling individual
karena yang menjadi unit terapi adalah individu sekalipun masalah yang dihadapi
dan yang dipecahkan adalah berhubungan dengan keluarganya. Dalam beberapa hal
konseling keluarga tampaknya menguntungkan. Semua anggota keluarga mengerti dan
bertanggungjawab terhadap upaya perbaikan perilaku anak. Konseling ini menjadi
sangat efektif terutama untuk mengatasi masalah-masalah anak yang berhubungan
dengan sikap dan perilaku orangtua sepanjang berinteraksi dengan anak.
B.
MASALAH-MASALAH KELUARGA
Pada masa lalu menurut
Moursund (1990), konseling keluarga terfokus pada salah satu atau dua hal,
yaitu : (1) keluarga dengan anak yang mengalami gangguan yang berat seperti
gangguan perkembangan dan skizofrenia, yang menunjukkan jelas-jelas mengalami
gangguan; dan (2) keluarga yang salah satu atau kedua orangtua tidak memiliki
kemampuan, menelantarkan anggota keluarganya, salah dalam memberi kelola
anggota keluarga, dan biasanya memiliki berbagai masalah.
Permasalahan pertama berhubungan
dengan keadaan orangtua, banyak dijumpai orangtua tidak berkemampuan mengelola
rumah tangganya, menelantarkan kehidupan rumah tangganya sehingga tidak terjadi
kondisi yang berkeseimbangan dan penuh konflik, atau memberi perlakuan secara
salah (abuse) kepada anggota keluarga
lain dan sebagainya merupakan keluarga yang memiliki berbagai masalah. Jika
mengerti dan berkeinginan membangun kehidupan keluarga yang lebih stabil,
mereka membutuhkan konseling.
Permasalahan kedua, karena
mengalami kondisi yang kurang harmoni di dalam keluarga akibat stressor
perubahan-perubahan budaya, cara-cara baru dalam mengatur keluarganya, dan cara
menghadapi dan mendidik anak-anak mereka. Berdasarkan pengalaman dalam
penanganan konseling keluarga masalah yang dihadapi dan dikonsultasikan kepada
konselor antara lain : keluarga dengan anak yang tidak patuh terhadap harapan
orangtua, konflik antar anggota keluarga, perpisahan diantara anggota keluarga
karena kerja diluar daerah, dan anak yang mengalami kesulitan belajar atau
sosialisasi.
Berbagai
permasalahan-permasalahan keluarga dapat diselesaikan melalui konseling
keluarga. Konseling keluarga menjadi efektif untuk mengatasi masalah-masalah
jika semua anggota keluarga bersedia untuk mengubah sistem keluarganya yang
telah ada dengan cara-cara baru untuk membantu mengatasi anggota keluarga yang
bermasalah.
C.
PENDEKATAN KONSELING KELUARGA
Tiga pendekatan konseling
keluarga yaitu : pendekatan sistem, conjoint,dan
struktural.
a.
Pendekatan
Sistem Keluarga
Murray Bowen merupakan peletak
dasar pendekatan sistem. Menurutnya keluarga itu bermasalah jika keluarga itu
tidak berfungsi (disfunctioning family).
Keadaan ini terjadi karena anggota keluarga tidak dapat membebaskan dirinya
dari peran dan harapan yang mengatur dalam hubungan mereka. Menurut Bowen dalam
keluarga terdapat kekuatan yang membuat anggota keluarga bersama-sama dan
kekuatan itu dapat pula membuat anggota keluarga melawan yang mengarah pada
individualitas. Sebagian anggota keluarga tidak dapat menghindari sistem
keluarga yang emosional, yaitu yang mengarahkan anggota keluarganya mengalami
kesulitan (gangguan). Jika hendak menghindar dari keadaan yang tidak fungsional
itu, dia harus memisahkan diri dari sistem keluarga. Dengan demikian dia harus
membuat pilihan atas rasionalitasnya bukan emosionalnya.
b.
Pendekatan
Conjoint
Menurut Satir (1967) masalah
yang dihadapi oleh anggota keluarga berhubungan dengan self-esteem dan komunikasi. Menurutnya, keluarga adalah fungsi
penting bagi keperluan komunikasi dan kesehatan mental. Masalah terjadi jika self-esteem yang dibentuk oleh keluarga
itu sangat rendah dan komunikasi yang terjadi dalam keluarga itu juga tidak
baik. Satir mengemukakan pandangannya ini berangkat dari asumsi bahwa anggota
keluarga menjadi bermasalah jika tidak mampu melihat dan mendengarkan
keseluruhan yang dikomunikasikan anggota keluarga yang lain.
c.
Pendekatan
Struktural
Miuchin (1974) beranggapan
bahwa masalah kelurga sering terjadi karena struktur keluarga dan pola
transaksi yang dibangun tidak tepat. Seringkali dalam membangun struktur dan
transaksi ini batas-batas antara sub sistem dari sistem keluarga itu tidak
jelas. Mengubah struktur dalam keluarga berarti menyusun kembali keutuhan dan
menyembuhkan perpecahan antara dan seputar anggota keluarga. Berbagai pandangan
para ahli tentang keluarga akan memperkaya pemahaman konselor untuk melihat
maslah apa yang sedang terjadi, apakah soal struktur, pola komunikasi, atau
batasan yang ada di keluarga, dan sebagainya.
D.
TUJUAN KONSELING KELUARGA
Tujuan konseling keluarga oleh
para ahli dirumuskan secara berbeda, yaitu:
a. Bowen menegaskan bahwa tujuan konseling keluarga
adalah membantu klien (anggota keluarga) untuk mencapai individualitas, menjadi
dirinya sebagai hal yang berbeda dari sistem keluarga.
b. Satir menekankan pada tujuan mereduksi
sikap defensif di dalam dan antar anggota keluarga. Pada saat yang sama konseling
diharapkan dapat mempermudah komunikasi yang efektif dalam kontak hubungan
antar anggota keluarga. Oleh karena itu anggota keluarga perlu membuka inner experience (pengalaman dalamnya)
dengan tidak ”mambakukan” interaksi antar anggota keluarga.
c.
Minuchin
mengemukakan bahwa tujuan konseling keluarga adalah mengubah struktur dalam
keluarga dengan cara menyusun kembali kesatuan dan menyembuhkan perpecahan
antara dan sekitar anggota keluarga. Diharapkan keluarga dapat menantang
persepsi untuk melihat realitas, mempertimbangkan alternatif sedapat mungkin
dan pola transaksional. Anggota keluarga dapat mengembangkan pola hubungan baru
dan struktur yang mendapatkan self-reinforcing.
d.
Glick
dan Kessler (Goldenberg, 1983) mengemukakan tujuan umum konseling keluarga
adalah untuk : (1) memfasilitasi komunikasi pikiran dan perasaan antar anggota
keluarga, (2) mengganti gangguan, ketidakfleksibelan peran dan kondisi, (3)
memberi pelayanan sebagai model dan pendidik peran tertentu yang ditunjukkan
kepada anggota lainnya.
E.
BENTUK KONSELING KELUARGA
Kecenderungan
pelaksanaan konseling keluarga adalah sebagai berikut :
a.
Memandang
klien sebagai pribadi dalam konteks sistem keluarga. Klien merupakan bagian
dari sistem keluarga sehingga masalah yang dialami dan pemecahannya tidak dapat
mengesampingkan peran keluarga.
b.
Berfokus
pada saat ini yaitu apa yang diatasi dalam konseling keluarga adalah
masalah-masalah yang dihadapi klien pada kehidupan saat ini, bukan kehidupan
masa lampaunya. Oleh karena itu masalah yang diselesaikan bukan pertumbuhan
personal yang bersifat jangka panjang.
Bentuk konseling keluarga
disesuaikan dengan keperluannya. Namun banyak ahli yang menganjurkan agar
anggota keluarga dapat ikut serta dalam konseling. Perubahan pada sistem
keluarga dapat dengan mudah diubah jika seluruh anggota keluarga terlibat dalam
konseling, karena mereka tidak hanya bicara tentang keluarganya tetapi juga
terlibat dalam penyusunan rencana perubahan dan tindakannya.
F.
PERANAN KONSELOR
Peran konselor dalam membantu klien
dalam konseling keluarga dan perkawinwn dikemukakan oleh satir (Cottone, 1992)
diantaranya sebagai berikut :
a.
Konselor
berperan sebagai ”facilitative a
comfortable”, membantu klien melihat secara jelas dan objektif dirinya dan
tindakan-tindakannya sendiri.
b. Konselor menggunakan kemampuan treatment melalui setting peran
interaksi.
c. Berusaha menghilangkan pembelaan diri dan
keluarga.
d. Membelajarkan klien untuk berbuat secara
dewasa dan untuk bertanggungjawab dan melakukan self-control.
e. Konselor menjadi penengah dari pertentangan
atau kesenjangan komunikasi dan menginterpretasi pesan-pesan yang disampaikan
klien atau anggota keluarga.
f. Konselor menolak perbuatan-perbuatan
penilaian dan membantu menjadi congruence
dalam respon-respon anggota keluarga.
G.
PROSES DAN TAHAPAN KONSELING KELUARGA
Pada mulanya seorang klien datang ke konselor untuk
mengkonsultasikan masalahnya. Biasanya datang pertama kali ini lebih bersifat
”identifikasi pasien”. Tetapi untuk tahap penanganan (treat) diperlukan
kehadiran anggota keluarganya. Menurut Satir tidak mungkin mendengarkan peran,
status, nilai, dan norma keluarga atau kelompok jika tidak ada anggita keluarga
yang hadir. Jadi dalam pandangan ini anggota keluarga yang lain harus datang ke
konselor (Brammer dan Shostrom, 1982).
Kehadiran klien ke konselor dapat
dilangsungkan sampai 3 kali dalam seminggu. Tahapan konselinh keluarga secara
garis besar dikemukakan oleh Crane (1995:231-232) yang mencoba menyusun tahapan
konseling keluarga untuk mengatasi anak berperilaku oposisi. Dalam mengatasi problem,
Crane menggunakan pendekatan behavioral yang disebutkan terdapat 4 tahap secara
berturut-turut sebagai beriku.
a. orangtua membutuhkan untuk dididik dalam
bentuk perilaku-perilaku alternatif. Hal ini dapat dilakukan dengan kombinasi
tugas-tugas membaca dan sessi pengajaran.
b. Setelah orangtua membaca tentang prinsip
dan atau telah dijelaskan materinya konselor menunjukkan kepada orangtua
bagaimana cara mengimplementasikan ide tersebut. Pertama kali mengajarkan
kepada anak, sedangkan orangtua melihat bagaimana melakukannya sebagai ganti
pembicaraan tentang bagaimana hal itu dikerjakan.
Secara tipikal orangtua akan
membutuhkan contoh yang menunjukkan bagaimana mengkonfrontasikan anak-anak yang
beroposisi. Sangat penting menunjukkan kepada orangtua yang kesulitan memahami
dan menerapkan cara yang tepat dalam memperlakukan anaknya.
c.
Selanjutnya
orangtua mencoba mengimplementasikan prinsip-prinsip yang telah mereka pelajari
menggunakan situasi sessi terapi. Terapis selama ini dapat memberi koreksi jika
dibutuhkan.
d.
Setelah
terapis memberi contoh kepada orangtua cara menangani anak secara tepat
orangtua mencoba menerapkannya dirumah. Saat dicoba dirumah konselor dapat
melakukan kunjungan untuk mengamati kemajuan yang dicapai. Jika masih
diperlukan penjelasan lebih lanjut terapis dapat memberi contoh lanjutan
girumah dan diobservasi orangtua, selanjutnya orangtua mencoba sampai mereka
merasa dapat menangani kesulitannya, mengatasi masalah sehubungan dengan
masalah anaknya.
H.
KESALAHAN UMUM DALAM KONSELING KELUARGA
Dalam konseling keluarga
banyak dijumpai kesalahan-kesalahan yang dilakukan konselor, sehingga hasilnya
tidak efektif. Crane (1995) mengemukakan sejumlah kesalahan umum dalam
penyelenggaraan konseling keluarga diantaranya sebagai berikut.
a.
tidak
bertemu dengan seluruh keluarga (termasuk kedua orangtua) untuk mendiskusikan
masalah-masalah yang dihadapi.
b.
Pertama
kali orangtua dan anak datang ke konselor bersama-sama, konselornya suatu saat
berkata hanya orangtua dan anak tidak perlu turut dalam proses sehingga menampakkan
ketidak peduliannya terhadap apa yang menjadi perhatian anak. Cara yang baik
adalah mengajak anak untuk berbicara, memperhatikan apa yang mereka kemukakan,
dan meresponnya secara tepat.
c.
Mengilmiahkan
dan mendiskusikan masalah atau menjelaskan pandangannya kepada orangtua dan
bukan menunjukkan cara penanganan masalah yang dihadapi dalam kehidupan nyata.
d.
Melihat
atau mendiagnosis untuk menjelaskan perilaku anak dan orangtua bukan
mengajarkan cara untuk memperbaiki masalah-maslah yang terjadi. Jadi penekanannya
adalah mengubah sistem interaksi dengan jalan mengubah perilaku orangtua dan mengajarkan mereka bagaimana
mengubah perilaku anak-anak mereka.
e.
Mengajarkan
teknik modifikasi perilaku pada keluarga yang terlalu otoritarian atau terlalu
membiarkan dalam interaksi mereka. Orangtua perlu belajar cara memberikan
dorongan dan afeksi kepada anak mereka, bukan mengendalikan perilaku anak.
Kesalahan-kesalahan
dalam konseling keluarga sebaiknya dihindari untuk memperoleh hasil yang lebih
baik. Konselor tentunya diharapkan melakukan evaluasi secara terus menerus
terhadap apa yang dilakukan dan bagimana hasil yang dicapai dari usahanya.
I.
DEMOKRATISASI DAN KETERBUKAAN DALAM
SUASANA KEHIDUPAN KELUARGA
Demokratisasi
dan keterbukaan dalam suasana kehidupan keluarga adalah syarat essensial
terjadinya pengakuan dunia keorangtuaan, orangtua oleh anak dan dunia
keanak-anak oleh orangtua dan situasi kehidupan yang dihayati bersama. Secara
filosofis, terbukanya peluang bagi mereka untuk menghadirkan eksistensi dirinya
akan memudahkan mereka untuk saling membaca.
Kreativitas
mereka yang berkembang secara optimal merupakan persyaratan untuk saling
beridentifikasi diri dengan situasi dan kondisi tersebut, masing-masing anggota
keluarga dapat melakukan peran dan fungsi dengan baik dan anak-anak merasa
diterima didalam anggota keluarga. Jika anak merasa diterima dalam keluarga,
mereka mudah untuk membangun konsep diri dan berfikir positif. Dengan demikian
anak memiliki dasar-dasar untuk mau dan terdorong belajar dari siapa saja
tentang suatu hal, termasuk ntuk memiliki dan mengembangkan nilai-nilai moral
sebagai dasar berperilaku yang berdisiplin diri. Artinya, jika anak tidak
diterima dalam kelompoknya, dia tidak merasa asing karena dalam keluarga telah
dimanusiawikan. Ini merupakan fondasi yang kuat bagi anak untuk dapat
memilahkan hasil dialektika dengan dunia luar, sesuai dengan nilai-nilai moral
yang telah dimiliki dari upaya orangtuanya.
Kehidupan
keluarga dapat membangun konfirmitas dan transaksional dalam mereka. Konfirmitas
dan transaksional yang dibangun dalam kehidupan keluarga merupakan unsur
essensial diantara mereka untuk saling mempercayai.
Untuk
membangun suasana tersebut, dimulai dari sikap keterbukaan orangtua atau
pendidik tentang upaya yang dilakukan, baik didalam lingkungan keluarga maupun
diluar rumah. Dengan keterbukaan, kehidupan keluarga mereka harus siap untuk
menerima saran atau beridentifikasi diri dari perilaku anggota keluarga
lainnya. Keterbukaan adalah wahana untuk menyadarkan anak bahwa orangtuanya
senantiasa berusaha untuk meningkatkan kepatuhannya terhadap nilai-nilai moral
sehingga dapat menggugah anak untuk melakukan identifikasi dalam belajar
memiliki dan meningkatkan nilai-nilai moral.
DAFTAR PUSTAKA
Latipun.
(2006). Psikologi Konseling Edisi Ketiga. Malang : UMM Press
Sochib, Moh. (1998). Pola Asuh Orangtua dalam Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri.
Jakarta : Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar