Minggu, 09 Juni 2013

Konseling Keluarga

KONSELING KELUARGA

A.  PENGERTIAN KONSELING KELUARGA
Konseling keluarga pada dasarnya merupakan penerapan konseling pada situasi yang khusus. Konseling keluarga ini secara khusus memfokuskan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi keluarga dan penyelenggaraannya melibatkan anggota keluarga.
Menurut D. Stanton konseling keluarga dapat dikatakan sebagai konseling khusus karena sebagaimana yang selalu dipandang oleh konselor terutama konselor keluarga, konseling keluarga sebagai (1) sebuah nodalitas yaitu klien adalah anggota dari suatu kelompok, yang (2) dalam proses konseling melibatkan keluarga inti atau pasangan (Capuzzi, 1991).
Konseling keluarga memandang keluarga cara keseluruhan bahwa anggota keluarga adalah bagian yang tidak mungkin dipisahklan dari anak (klien) baik dalam melihat permasalahannya maupun penyelesaiannya. Sebagai suatu sistem permasalahan yang dialami seorang anggota keluarga akan efektif diatasi jika melibatkan anggota keluarga yang lain.
Menurut Crane (1995) salah seorang konselor behavioral, konseling keluarga merupakan proses pelatihan terhadap orangtua dalam hal metode mengendalikan perilaku yang positif dan membantu orangtua dalam perilaku yang dikehendaki. Dalam pengertian ini konseling keluarga tidak bermaksud untuk mengubah kepribadian, sifat, dan karakter orang-orang yang terlibat, tetapi lebih mengusahakan perubahan dalam sistem keluarga melalui pengubahan perilaku, utamanya orangtua. Asumsi yang dikembangkan adalah pengubahan perilaku dari anggota sistem yang signifikan (orangtua) akan mengarah perubahan secara tibal balik (reciprocal) terhadap perilaku anggota sistem yang lain. Dengan demikian perubahan perilaku orangtua atau orang yang berpengaruh menjadi fokus dalam mengubah perilaku anggota keluarga lain (klien) yang merupakan akibat dari perilakunya.
Atas dasar penjelasan-penjelasan diatas jelas bahwa dalam konseling keluarga yang menjadi unit terapi adalah keluarga sehubungan dengan masalah yang dihadapi oleh anggota keluarga tersebut. Hal tersebut berbeda dengan konseling individual karena yang menjadi unit terapi adalah individu sekalipun masalah yang dihadapi dan yang dipecahkan adalah berhubungan dengan keluarganya. Dalam beberapa hal konseling keluarga tampaknya menguntungkan. Semua anggota keluarga mengerti dan bertanggungjawab terhadap upaya perbaikan perilaku anak. Konseling ini menjadi sangat efektif terutama untuk mengatasi masalah-masalah anak yang berhubungan dengan sikap dan perilaku orangtua sepanjang berinteraksi dengan anak.

B.     MASALAH-MASALAH KELUARGA
Pada masa lalu menurut Moursund (1990), konseling keluarga terfokus pada salah satu atau dua hal, yaitu : (1) keluarga dengan anak yang mengalami gangguan yang berat seperti gangguan perkembangan dan skizofrenia, yang menunjukkan jelas-jelas mengalami gangguan; dan (2) keluarga yang salah satu atau kedua orangtua tidak memiliki kemampuan, menelantarkan anggota keluarganya, salah dalam memberi kelola anggota keluarga, dan biasanya memiliki berbagai masalah.
Permasalahan pertama berhubungan dengan keadaan orangtua, banyak dijumpai orangtua tidak berkemampuan mengelola rumah tangganya, menelantarkan kehidupan rumah tangganya sehingga tidak terjadi kondisi yang berkeseimbangan dan penuh konflik, atau memberi perlakuan secara salah (abuse) kepada anggota keluarga lain dan sebagainya merupakan keluarga yang memiliki berbagai masalah. Jika mengerti dan berkeinginan membangun kehidupan keluarga yang lebih stabil, mereka membutuhkan konseling.
Permasalahan kedua, karena mengalami kondisi yang kurang harmoni di dalam keluarga akibat stressor perubahan-perubahan budaya, cara-cara baru dalam mengatur keluarganya, dan cara menghadapi dan mendidik anak-anak mereka. Berdasarkan pengalaman dalam penanganan konseling keluarga masalah yang dihadapi dan dikonsultasikan kepada konselor antara lain : keluarga dengan anak yang tidak patuh terhadap harapan orangtua, konflik antar anggota keluarga, perpisahan diantara anggota keluarga karena kerja diluar daerah, dan anak yang mengalami kesulitan belajar atau sosialisasi.
Berbagai permasalahan-permasalahan keluarga dapat diselesaikan melalui konseling keluarga. Konseling keluarga menjadi efektif untuk mengatasi masalah-masalah jika semua anggota keluarga bersedia untuk mengubah sistem keluarganya yang telah ada dengan cara-cara baru untuk membantu mengatasi anggota keluarga yang bermasalah.

C.    PENDEKATAN KONSELING KELUARGA
Tiga pendekatan konseling keluarga yaitu : pendekatan sistem, conjoint,dan struktural.
a.         Pendekatan Sistem Keluarga
Murray Bowen merupakan peletak dasar pendekatan sistem. Menurutnya keluarga itu bermasalah jika keluarga itu tidak berfungsi (disfunctioning family). Keadaan ini terjadi karena anggota keluarga tidak dapat membebaskan dirinya dari peran dan harapan yang mengatur dalam hubungan mereka. Menurut Bowen dalam keluarga terdapat kekuatan yang membuat anggota keluarga bersama-sama dan kekuatan itu dapat pula membuat anggota keluarga melawan yang mengarah pada individualitas. Sebagian anggota keluarga tidak dapat menghindari sistem keluarga yang emosional, yaitu yang mengarahkan anggota keluarganya mengalami kesulitan (gangguan). Jika hendak menghindar dari keadaan yang tidak fungsional itu, dia harus memisahkan diri dari sistem keluarga. Dengan demikian dia harus membuat pilihan atas rasionalitasnya bukan emosionalnya.

b.        Pendekatan Conjoint
Menurut Satir (1967) masalah yang dihadapi oleh anggota keluarga berhubungan dengan self-esteem dan komunikasi. Menurutnya, keluarga adalah fungsi penting bagi keperluan komunikasi dan kesehatan mental. Masalah terjadi jika self-esteem yang dibentuk oleh keluarga itu sangat rendah dan komunikasi yang terjadi dalam keluarga itu juga tidak baik. Satir mengemukakan pandangannya ini berangkat dari asumsi bahwa anggota keluarga menjadi bermasalah jika tidak mampu melihat dan mendengarkan keseluruhan yang dikomunikasikan anggota keluarga yang lain.

c.         Pendekatan Struktural
Miuchin (1974) beranggapan bahwa masalah kelurga sering terjadi karena struktur keluarga dan pola transaksi yang dibangun tidak tepat. Seringkali dalam membangun struktur dan transaksi ini batas-batas antara sub sistem dari sistem keluarga itu tidak jelas. Mengubah struktur dalam keluarga berarti menyusun kembali keutuhan dan menyembuhkan perpecahan antara dan seputar anggota keluarga. Berbagai pandangan para ahli tentang keluarga akan memperkaya pemahaman konselor untuk melihat maslah apa yang sedang terjadi, apakah soal struktur, pola komunikasi, atau batasan yang ada di keluarga, dan sebagainya.

D.      TUJUAN KONSELING KELUARGA
Tujuan konseling keluarga oleh para ahli dirumuskan secara berbeda, yaitu:
a.       Bowen menegaskan bahwa tujuan konseling keluarga adalah membantu klien (anggota keluarga) untuk mencapai individualitas, menjadi dirinya sebagai hal yang berbeda dari sistem keluarga.
b.      Satir menekankan pada tujuan mereduksi sikap defensif di dalam dan antar anggota keluarga. Pada saat yang sama konseling diharapkan dapat mempermudah komunikasi yang efektif dalam kontak hubungan antar anggota keluarga. Oleh karena itu anggota keluarga perlu membuka inner experience (pengalaman dalamnya) dengan tidak ”mambakukan” interaksi antar anggota keluarga.
c.         Minuchin mengemukakan bahwa tujuan konseling keluarga adalah mengubah struktur dalam keluarga dengan cara menyusun kembali kesatuan dan menyembuhkan perpecahan antara dan sekitar anggota keluarga. Diharapkan keluarga dapat menantang persepsi untuk melihat realitas, mempertimbangkan alternatif sedapat mungkin dan pola transaksional. Anggota keluarga dapat mengembangkan pola hubungan baru dan struktur yang mendapatkan self-reinforcing.
d.        Glick dan Kessler (Goldenberg, 1983) mengemukakan tujuan umum konseling keluarga adalah untuk : (1) memfasilitasi komunikasi pikiran dan perasaan antar anggota keluarga, (2) mengganti gangguan, ketidakfleksibelan peran dan kondisi, (3) memberi pelayanan sebagai model dan pendidik peran tertentu yang ditunjukkan kepada anggota lainnya.

E.     BENTUK KONSELING KELUARGA
Kecenderungan pelaksanaan konseling keluarga adalah sebagai berikut :
a.         Memandang klien sebagai pribadi dalam konteks sistem keluarga. Klien merupakan bagian dari sistem keluarga sehingga masalah yang dialami dan pemecahannya tidak dapat mengesampingkan peran keluarga.
b.        Berfokus pada saat ini yaitu apa yang diatasi dalam konseling keluarga adalah masalah-masalah yang dihadapi klien pada kehidupan saat ini, bukan kehidupan masa lampaunya. Oleh karena itu masalah yang diselesaikan bukan pertumbuhan personal yang bersifat jangka panjang.

            Bentuk konseling keluarga disesuaikan dengan keperluannya. Namun banyak ahli yang menganjurkan agar anggota keluarga dapat ikut serta dalam konseling. Perubahan pada sistem keluarga dapat dengan mudah diubah jika seluruh anggota keluarga terlibat dalam konseling, karena mereka tidak hanya bicara tentang keluarganya tetapi juga terlibat dalam penyusunan rencana perubahan dan tindakannya.

F.     PERANAN KONSELOR
            Peran konselor dalam membantu klien dalam konseling keluarga dan perkawinwn dikemukakan oleh satir (Cottone, 1992) diantaranya sebagai berikut :
a.         Konselor berperan sebagai ”facilitative a comfortable”, membantu klien melihat secara jelas dan objektif dirinya dan tindakan-tindakannya sendiri.
b.      Konselor menggunakan kemampuan treatment melalui setting peran interaksi.
c.       Berusaha menghilangkan pembelaan diri dan keluarga.
d.      Membelajarkan klien untuk berbuat secara dewasa dan untuk bertanggungjawab dan melakukan self-control.
e.       Konselor menjadi penengah dari pertentangan atau kesenjangan komunikasi dan menginterpretasi pesan-pesan yang disampaikan klien atau anggota keluarga.
f.       Konselor menolak perbuatan-perbuatan penilaian dan membantu menjadi congruence dalam respon-respon anggota keluarga.

G.    PROSES DAN TAHAPAN KONSELING KELUARGA
            Pada mulanya seorang klien datang ke konselor untuk mengkonsultasikan masalahnya. Biasanya datang pertama kali ini lebih bersifat ”identifikasi pasien”. Tetapi untuk tahap penanganan (treat) diperlukan kehadiran anggota keluarganya. Menurut Satir tidak mungkin mendengarkan peran, status, nilai, dan norma keluarga atau kelompok jika tidak ada anggita keluarga yang hadir. Jadi dalam pandangan ini anggota keluarga yang lain harus datang ke konselor (Brammer dan Shostrom, 1982).
            Kehadiran klien ke konselor dapat dilangsungkan sampai 3 kali dalam seminggu. Tahapan konselinh keluarga secara garis besar dikemukakan oleh Crane (1995:231-232) yang mencoba menyusun tahapan konseling keluarga untuk mengatasi anak berperilaku oposisi. Dalam mengatasi problem, Crane menggunakan pendekatan behavioral yang disebutkan terdapat 4 tahap secara berturut-turut sebagai beriku.
a.       orangtua membutuhkan untuk dididik dalam bentuk perilaku-perilaku alternatif. Hal ini dapat dilakukan dengan kombinasi tugas-tugas membaca dan sessi pengajaran.
b.      Setelah orangtua membaca tentang prinsip dan atau telah dijelaskan materinya konselor menunjukkan kepada orangtua bagaimana cara mengimplementasikan ide tersebut. Pertama kali mengajarkan kepada anak, sedangkan orangtua melihat bagaimana melakukannya sebagai ganti pembicaraan tentang bagaimana hal itu dikerjakan.
Secara tipikal orangtua akan membutuhkan contoh yang menunjukkan bagaimana mengkonfrontasikan anak-anak yang beroposisi. Sangat penting menunjukkan kepada orangtua yang kesulitan memahami dan menerapkan cara yang tepat dalam memperlakukan anaknya.
c.         Selanjutnya orangtua mencoba mengimplementasikan prinsip-prinsip yang telah mereka pelajari menggunakan situasi sessi terapi. Terapis selama ini dapat memberi koreksi jika dibutuhkan.
d.        Setelah terapis memberi contoh kepada orangtua cara menangani anak secara tepat orangtua mencoba menerapkannya dirumah. Saat dicoba dirumah konselor dapat melakukan kunjungan untuk mengamati kemajuan yang dicapai. Jika masih diperlukan penjelasan lebih lanjut terapis dapat memberi contoh lanjutan girumah dan diobservasi orangtua, selanjutnya orangtua mencoba sampai mereka merasa dapat menangani kesulitannya, mengatasi masalah sehubungan dengan masalah anaknya.

H.    KESALAHAN UMUM DALAM KONSELING KELUARGA
Dalam konseling keluarga banyak dijumpai kesalahan-kesalahan yang dilakukan konselor, sehingga hasilnya tidak efektif. Crane (1995) mengemukakan sejumlah kesalahan umum dalam penyelenggaraan konseling keluarga diantaranya sebagai berikut.
a.         tidak bertemu dengan seluruh keluarga (termasuk kedua orangtua) untuk mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi.
b.        Pertama kali orangtua dan anak datang ke konselor bersama-sama, konselornya suatu saat berkata hanya orangtua dan anak tidak perlu turut dalam proses sehingga menampakkan ketidak peduliannya terhadap apa yang menjadi perhatian anak. Cara yang baik adalah mengajak anak untuk berbicara, memperhatikan apa yang mereka kemukakan, dan meresponnya secara tepat.
c.         Mengilmiahkan dan mendiskusikan masalah atau menjelaskan pandangannya kepada orangtua dan bukan menunjukkan cara penanganan masalah yang dihadapi dalam kehidupan nyata.
d.        Melihat atau mendiagnosis untuk menjelaskan perilaku anak dan orangtua bukan mengajarkan cara untuk memperbaiki masalah-maslah yang terjadi. Jadi penekanannya adalah mengubah sistem interaksi dengan jalan mengubah perilaku  orangtua dan mengajarkan mereka bagaimana mengubah perilaku anak-anak mereka.
e.         Mengajarkan teknik modifikasi perilaku pada keluarga yang terlalu otoritarian atau terlalu membiarkan dalam interaksi mereka. Orangtua perlu belajar cara memberikan dorongan dan afeksi kepada anak mereka, bukan mengendalikan perilaku anak.
      Kesalahan-kesalahan dalam konseling keluarga sebaiknya dihindari untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Konselor tentunya diharapkan melakukan evaluasi secara terus menerus terhadap apa yang dilakukan dan bagimana hasil yang dicapai dari usahanya.

I.       DEMOKRATISASI DAN KETERBUKAAN DALAM SUASANA KEHIDUPAN KELUARGA
            Demokratisasi dan keterbukaan dalam suasana kehidupan keluarga adalah syarat essensial terjadinya pengakuan dunia keorangtuaan, orangtua oleh anak dan dunia keanak-anak oleh orangtua dan situasi kehidupan yang dihayati bersama. Secara filosofis, terbukanya peluang bagi mereka untuk menghadirkan eksistensi dirinya akan memudahkan mereka untuk saling membaca.
            Kreativitas mereka yang berkembang secara optimal merupakan persyaratan untuk saling beridentifikasi diri dengan situasi dan kondisi tersebut, masing-masing anggota keluarga dapat melakukan peran dan fungsi dengan baik dan anak-anak merasa diterima didalam anggota keluarga. Jika anak merasa diterima dalam keluarga, mereka mudah untuk membangun konsep diri dan berfikir positif. Dengan demikian anak memiliki dasar-dasar untuk mau dan terdorong belajar dari siapa saja tentang suatu hal, termasuk ntuk memiliki dan mengembangkan nilai-nilai moral sebagai dasar berperilaku yang berdisiplin diri. Artinya, jika anak tidak diterima dalam kelompoknya, dia tidak merasa asing karena dalam keluarga telah dimanusiawikan. Ini merupakan fondasi yang kuat bagi anak untuk dapat memilahkan hasil dialektika dengan dunia luar, sesuai dengan nilai-nilai moral yang telah dimiliki dari upaya orangtuanya.
            Kehidupan keluarga dapat membangun konfirmitas dan transaksional dalam mereka. Konfirmitas dan transaksional yang dibangun dalam kehidupan keluarga merupakan unsur essensial diantara mereka untuk saling mempercayai.
      Untuk membangun suasana tersebut, dimulai dari sikap keterbukaan orangtua atau pendidik tentang upaya yang dilakukan, baik didalam lingkungan keluarga maupun diluar rumah. Dengan keterbukaan, kehidupan keluarga mereka harus siap untuk menerima saran atau beridentifikasi diri dari perilaku anggota keluarga lainnya. Keterbukaan adalah wahana untuk menyadarkan anak bahwa orangtuanya senantiasa berusaha untuk meningkatkan kepatuhannya terhadap nilai-nilai moral sehingga dapat menggugah anak untuk melakukan identifikasi dalam belajar memiliki dan meningkatkan nilai-nilai moral.
     



DAFTAR PUSTAKA

Latipun. (2006). Psikologi Konseling Edisi Ketiga. Malang : UMM Press


Sochib, Moh. (1998). Pola Asuh Orangtua dalam Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri. Jakarta : Rineka Cipta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar