Minggu, 09 Juni 2013

Pengertian Bimbingan dan Konseling

Pengertian Bimbingan Dan Konseling

A. Pengertian Bimbingan Dan Konseling
            Bimbingan dan konseling dilaksanakan “dari” manusia “untuk” manusia dan “oleh” manusia. Dari manusia, artinya pelayanan itu diselenggarakan berdasarkan hakikat keberadaan manusia dengan segenap dimensi kemanusiaannya. Untuk manusia, dimaksudkan bahwa pelayanan tersebut diselenggarakan demi tujuan-tujuan yang agung, mulia dan positif bagi kehidupan kemanusiaan menuju manusia seutuhnya, baik sebagai individu atau kelompok. Oleh manusia, mengandung pengertian penyelenggara kegiatan itu adalah manusia dengan segenap derajat, martabat dan keunikan masing-masing yang terlibat di dalamnya.
  1. Pengertian Bimbingan
Rumusan tentang bimbingan formal telah diusahakan orang setidaknya sejak awal abad ke-20, sejak dimulainya bimbingan yang diprakarsai oleh Frank Parson pada tahun 1980. Sejak itu rumusan demi rumusan tentang bimbingan bermunculan sesuai dengan perkembangan pelayanan bimbingan itu endiri sebagai suatu pekerjaan khas yang ditekuni oleh para peminat dan ahlinya.
Frank Parson, dalam Jones tahun 1951 merumuskan bahwa Bimbingan sebagai bantuan yang diberikan kepada individu untuk dapat memilih, mempersiapkan diri, dan memangku suatu jabatan serta mendapat kemajuan dalam jabatan yang dipilihnya itu.
Dari runusan-rumusan itu dapat disimpulkan bahwa Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja maupun dewasa. Agar orang yang di bimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri. Dengan memenfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku.
  1. Pengertian Konseling
Istilah konseling berasal dari bahasa Latin, yaitu “consilium” yang berarti
“dengan” atau “bersama” yang dirangkai dengan “menerima” atau “memahami”. Dalam bahasa anglo-saxon konseling berasal dari “sellan” yang berarti “menyerahkan” atau “menyampaikan”.
            Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (klien) agar dapat teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien.
             Proses konseling pada dasarnya adalah usaha menghidupkan dan mendayagunakan secara penuh fungsi-fungsi yang minimal secara potensial ada pada diri klien. Jika fungsi ini berjalan dengan baik dapat diharapkan dinamika hidup klien akan kembali berjalan dengan wajar mengarah pada tujuan yang positif.

B. Istilah Penyuluhan Dan Konseling
                  Istilah konseling digunakan untuk menggantikan istilah ‘penyuluhan’ yang selama ini menyertai kata bimbingan. Istilah penyuluhan secara histories telah dipakai sejak tahu 1960-an.
Namun sejak tahun 1970-an muncul pemakaian istilah ‘penyuluhan’ yang sama sekali diluar pengertian konseling. ‘Penyuluhan’ dalam pengertiannya yang kemudian itu lebih mengarah pada usaha-usaha suatu badan, baik pemertintah maupun swasta untuk meningkatkan kesadaran, pemahaman, sikap dan ketrampilan warga masyarakat berkenaan dengan hal tertentu.  Akibatnya masyarakat akan menyama ratakan saja pengertian penyuluhan untuk konseling dan penyuluhan untuk arti lain itu.
                  Sejak tahun 1980-an gerakan bimbingan mulai digalakkan dengan penggunaan istilah konseling. Para pemakai istilah ini sengaja memakaikan untuk benar-benar menampilakan pelayanan yang sebenarnya dari usaha yang dimaksudkan itu. Lebih jauh digunakan untuk menggantikan istilah penyuluhan yang ternyata sudah dipakai secara lebih luas untuk pengertian yang lebih bersifat non-konseling.

C. Perkembangan Konsepsi Bimbingan dan Konseling
                        Di Negara-negara yang bimbingan dan konselingnya telah maju, terutama amerika serikat, perkembangan gerakan tentang bimbingan dan konseling yang memberikan makna berbeda terus berlangsung . Militer(1961) meringkaskan perkembangan bimbingan dan konseling kedalam lima periode.
                        Pada awal perkembangannya gerakan bimbingan yang diprakarsai oleh Frank Parson, pengertian bimbingan baru mencakup bimbingan jabatan. Pada tahap ini yang umumnya disebut sebagai periode parsoian, bimbingan dilihat sebagai usaha mengumpulkan berbagai keterangan tentang individu dan jabatan. Kedua jenis keteranagan itu kemudian dipasang dan dicocokkan yang pada akhirnya menemukan jabatan apa yang paling cocok untuk individu yang dimaksudkan.
Pada periode kedua, gerakan bimbingan lebih menekankan pada bimbingan pendidikan. Dalam tahap ini bimbingan dirumuskan sebagai suatu totalitas pelayanan yang secara keseluruhan dapat diintegrasiakan ke dalam upaya pendidikan. Pada kedua periode ini, rumusan tentang konseling belum dimunculkan.
Pada periode ketiga, pelayanan untuk penyelesaian diri mendapat perhatian utama. Pada periode ini disadari benar bahwa pelayanan bimbingan tidak hanya disangkut pautkan dengan usaha-usaha pendidikan saja, tidak pula hanya mencocokkan individu untuk jabatan-jabatan tertentu saja, melainkan juga bagi peningkatan kehidupan mental.
Periode keempat gerakan bimbingan menekankan pentingnya proses perkembangan individu. Pada periode ini pelayanan bimbingan dihubungkan dengan usaha individu untuk memenuhi tugas-tugas perkembangannya; membantu individu dalam mengembangkan potensi dan kemampuannya dalam mencapai kematangan dan kedewasaan menjadi tujuan yang utama.
Periode berikutnya, di tandai sebagai periode ke lima, tampak adanya dua arah yang berbeda, yaitu kecenderungan yang lebih menekankan pada rekonstruksi social(dan personal) dalam rangka membantu pemecahan masalah yang dihadapi individu. Pada dua tahap yang terakhir ini tampak tumpang tindihnya pengertian bimbingan dan konseling, yang satu dapat dibedakan dari yang lain, tapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

D. Tujuan Bimbingan dan Konseling.
                        Sejalan dengan perkembangannya konsepsi bimbingan dan konseling, maka tujuan bimbingan dan konseling pun mengalami perubahan, dari yang sederhana sampai ke yang lebih komprehensif. Perkembangan itu dari waktu ke waktu dapat dilihat pada kutipan dibawah ini:

… untuk membantu individu membuat pilihan-pilihan, penyesuaian-penyesuaian  dan interprestasi-interprestasi dalam hubungannya dengan situasi-situasi tertentu.
(Hamrin & Clifford, dalam jones 1951)

… untuk memperkuat fungsi-fungsi pendidikan.
( Bradshow, dalam Mc Daniel 1956)

… untuk membantu orang-orang menjadi insan yang berguana, tidak hanya sekedar mengikuti kegiatan-kegiatan yang berguna saja.
(Tiedeme, dalam Bernard & Fullmer 1969)

                        Dari perkembangan tujuan itu tampak bahwa tujuan umum bimbingan dan konseling adalah untuk membantu individu memperkembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap perkembangan dan predisposisi yang dimilikinya(seperti kemampuan dasar dan bakat-bakatnya), berbagai latar belakang yang ada (seperti latar belakang keluarga, pendidikan, status social ekonomi), serta sesuai dengan tuntutan positif lingkungannya.

E. Asas-asas Bimbingan dan Konseling
                        Pelayanan bimbingan dan konseling adalah pekerjaan professional. Sesuai dengan uraian tentang pemahaman, penanganan dan penyikapan(yang meliputi unsur-unsur kognitif, afeksi, dan perlakuan) konselor terhadap kasus, pekerjaan professional itu harus dilaksanakan dengan mengikuti kaidah-kaidah yng menjamin efisien dan efektivitas proses dan lain-lain.
                        Dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling kaidah-kaidah tersebut di kenal dengan asas-asas bimbingan dan konseling, yaitu ketentuan-ketentuan yang harus diterapkan dalam penyelenggaraan pelayanan itu.

1.      Asas kerahasiaan yaitu asas bimbingan dan konseling yang menuntut dirahasiakannya segenap data dan keterangan tentang konseli yang menjadi sasaran pelayanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin.
2.      Asas kesukarelaan yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan konseli mengikuti/ menjalani pelayanan/ kegiatan yang diperlukan baginya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban
membina dan mengembangkan kesukarelaan tersebut.
3.      Asas keterbukaan yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli yang menjadi sasaran pelayanan/ kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpura-pura, baik di dalam memberikan keteranagan tentang dirinya sendiri maupaun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban mengembangkan keterbukaan konseli.keterbukaan ini amat terkait pada terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri konseli yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan. Agar konseli dapat terbuka, guru pembimbing terlebih dahulu harus ersikap terbuka dan tidak berpura-pura.
4.      Asas kegiatan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli yang menjadi sasaran pelayanan berpartisipasi secara aktif di dalam penyelenggaraan pelayanan/kegiatan bimbingan.Dalam hal ini guru pembimbing perlu mendorong konseli untuk aktif dalam setiap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling yang diperuntukkan baginya.
5.      Asas kemandirian yaitu asas bimbingan dan konseling yang menunjukan pada tujuan umum bimbingan dan konseling, yakni: konseli sebagai sasaran pelayanan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi konseli-konseli yang mandiri dengan cirri-ciri mengenal dan menerima diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mewujudkan diri sendiri. Guru pembimbing hendaknya mampu mengarahkan segenap pelayanan bimbingan dan konseling yang diselenggarakannya bagi berkembangnya kemandirian konseli.
6.      Asas kekinian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar objek sasaran pelayanan bimbingan dan konseling ialah permasalahan konseli dalam kondisinya sekarang. Pelayanan yang berkenan dengan “ masa depan atau kondisi masa lampau pun” dilihat dampak dan atau kaitannya dengan kondisi yang ada dan apa yang diperbuat sekarang.
7.      Asas kedinamisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar isi pelayanan terhadap sasaran pelayanan(konseli) yang sama kehendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelenjatuan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
8.      Asas keterpaduan yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar berbagai pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjukan, harmonis, dan terpadu. Untuk ini kerja sama antara guru pembimbing dan pihak-pihak yang berperan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling perlu terus dikembangkan. Koordinasi segenap pelayanan/ kegiatan bimbingan dan konseling itu harus dilaksanakan sebaik-baiknya.
9.      Asas keharmonisan yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar segenap pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada dan tidak boleh bertentanagn dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama, hukum dan peraturan, adapt istiadat, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan yang berlaku. Bukanlah pelayanan atau kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat dipertanggung jawabkan apabila isi dan pelaksanannya tidak berdasarkan nilai dan nilai yang dimaksudkan itu. Lebih jauh, pelayanan dan kegiatan bimbingan dan knseling justru harus dapat meningkatkan kemampuan konseli
memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai dan norma tersebut.
10.  Asas keahlian yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah professional.Dalam hal ini,para pelaksana pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling hendaklah tenaga yang benar-benar ahli dalam bidang  bimbingan dan konseling.Keprofesionalan guru pembimbing harus terwujud baik dakam penyelenggaraan jenis-jenis pelayanan dan kegiatan dan konseling maupun dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.
11.  Asas alih tangan kasus,yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas waktu permasalahan konseli mengalih tangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli.Guru pembimbing dapat menerima ahli tangan kasus orang tua,guru-guru lain,atau ahli lain:dan demikian pula guru pembimbing dapat mengalih tangankan kasus kepada guru mata pelajaran/praktik dan lain-lain.
12.  Asas Tutwuri Handayani,yaitu menunjuk pada suasana umum yang hendaknya tercipta dalam rangka hubungan keseluruhan antara konselor dan klien.Lebih-lebih dilingkungan di sekolah,asas ini makin dirasakan keperluanya dan perlu dilengkapi dengan”ing ngarso sung tulodo,ing madya mangun karso”.Asas ini menuntut agar pelayanan bimbingan dan konseling tidak hanya dirasakan pada waktu klien mengalami masalah dan menghadap kepada konselor saja,namun diluar hubungan proses bantuan bimbingan dan konseling pun hendaknya dirasakan adanya dan manfaatnya pelayanan bimbingan dan konseling itu.

F. Kesalahpahaman dalam Bimbingan dan Konseling
            Uraian terdahulu mengemukakan bahwa pelayanan Bimbingan dan Konseling merupakan barang impor yang pengembangannya di Indonesia masih tergolong baru. Apabila untuk penggunaan istilah saja, terutama istilah penyuluhan dan konseling, masih belum ada kesepakatan semua pihak, maka dapat dimengerti kalau sampai sekarang masih banyak kesalah pahaman dalam bidang bimbingan dan konseling itu. Kesalah pahaman seperti itu lebih mungkin lagi terjadi mengingat pelayanan bimbingan dan konseling dalam waktu yang relative tidak begitu lama telah tersebar luas, terutama ke sekolah-sekolah, di seluruh pelosok tanah air. Kesalah pahaman yang sering dijumpai di lapangan antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Bimbingan dan Konseling disamakan saja dengan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan.
Ada dua pendapat yang berkenaan dengan pelaksanaan bimbingan dan konseling. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa bimbingan dan konseling sama saja dengan pendidikan. Pendapat ini menganggap bahwa pelayanan khusus bimbingan dan konseling tidak perlu disekolah. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling harus benar-bena dilaksanakan secara khusus oleh tenaga yang benar-benar ahli dengan perlengkapan(alat,tempat,dan sarana) yang benar-benar memenuhi syarat.
2.      Konselor di sekolah dianggap polisi sekolah.
Masih banyak anggapan bahwa peranan konselor di sekolah adalah sebagai polisi sekolah yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin dan keamanan sekolah. Anggapan ini mengatakan “barang siapa diantara siswa-siswi melanggar peraturan dan disiplin sekolah harus berurusan dengan konselor”. Dapat dibayangkan bagaimana tanggapan siswa tehadap konselor yang mempunyai wajah seperti tersebut. Konselor dianggap sebagai “keranjang sampah”, yaitu tempat ditampungnya siswa-siswi yang rusak/ tidak beres, dilain pihak dianggap sebagai “manusia super”. Yang harus dapat mengetahui dan dapat mengungkapkan hal-hal yang muskil yang melatar belakangi suatu kejadian atau masalah.
3.      Bimbingan dan konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian nasihat.
Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan yang berupa pemberian nasihat. Pemberian nasihat hanya merupakan sebagian kecil dari upaya-upaya bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal. Konselor juga harus melakukan upaya-upaya tindak lanjut serta mensinkronisasikan upaya yang satu dengan upaya yang lainnya sehingga keseluruhan upaya itu menjadi suatu rangkaian yang terpadu dan berkesinambungan.
4. Bimbingan dan Konseliung dibatasi pada hanya menangani masalah yang bersifat incidental.
                                    Memang sering kali pelayanan bimbingan dan konseling bertitik tolak dari masalah klien sekarang, yang sifatnya diadakan. Namun pada hakikatnya pelayanan itu sendiri menjangkau dimensi waktu yang lebih luas, sekarang, dan yang akan datang. Disamping itu konselor tidak lah seyogyanya menunggu saja klien datang dan mengemukakan masalahnya.
5.      Bimbingan dan Konseling dibatasi hanya untuk klien-klien tertentu saja.
Pelayanan bimbingan dan konseling bukan tersedia dan tertuju untuk klien-klien tertentu saja, tetapi terbuka untuk segenap individu ataupun kelompok yang memerlukannya. Jika pun ada penggolongan, maka penggolongan itu didasarkan atas klasifikasi masalah(seperti bimbingan dan konseling pendidikan, jabatan/pekerjaan, keluarga/perkawinan), bukan atas dasar kondisi klien(misalnya jenis kelamin, kelas social/ekonomi, agama, suku dan lain sebagainya).
6.      Bimbingan dan Konseling melayani “orang sakit” dan atau “kurang normal”.
Bimbinagan dan Konseling tidak melayani “orang sakit” dan “kurang normal”. Bimbingan dan konseling hanya melayani orang-orang normal yang mengalami masalah tertentu. Konselor yang memiliki kemampuan tinggi akan mampu mendeteksi dan mempertimbangkan lebih jauh tentang mantap atau kurang mantapnya fungsi-fungsi yang ada pada kliaen sehingga kliennya itu perlu dikirim pada dokter atau psikiater. Penanganan masalah oleh ahlinya secara tepat akan memberiakn jasmani yang telah kuat bagi keberhasilan pelayanan.
7.      Bimbingan dan Konseling bekerja sendiri.
Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah proses yang terisolasi,melainkan proses yang bekerja sendiri syarat dengan unsur-unsur budaya,social dan lingkungan.Oleh karenanya pelayanan bimbingan dan konseling tidak mungkin menyendiri.Konselor perlu bekerja sama dengan orang-orang yang diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang sedang dihadapi oleh klien.Disekolah misalnya,masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa tidak berdiri sendiri.Masalah itu sering kali saling terkait dengan orang tua siswa,guru dan pihak-pihak:terkait pula dengan berbagai unsur lingkungan rumah,sekolah dan masyarakat sekitarnya.
8.      Konselor Harus Aktif,Sedangkan Pihak Lain Pasif
 Sesuai dengan asas kegiatan,disamping konselor yang bertindak sebagai pusat penggerak bimbingan dan konseling,pihak lain pun,terutama klien,harus secara langsung aktif terlibat dalam proses tersebut.Lebih jauh,pihak-pihak lain hendaknya tidak membiarkan konselor bergerak dan berjalan sendiri.Mereka hendaknya membantu kelancaran usaha pelayanan itu.Pada dasarnya pelayanan bimbingan dan konseling adalah usaha bersama yang beban kegiatanya tidak semata-mata ditimpakan hanya kepada konselor saja.Jika kegiatan yang pada dasarnya bersifat usaha bersama itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja,dalam hal ini konselor,maka hasilnya akan berkurang mantap,tersendat-sendat atau bahkan tidak berjalan sama sekali.
9.      Menggangap Pekerjaan Bimbingan dan Konseling Dapat Dilakukan Oleh Siapa Saja
Benarkah pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja?jawabanya bisa “benar”dan busa pula “tidak”.”Benar”,jika bimbingan dan konseling dianggap sebagai pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukun secara amatiran belaka.”Tidak”,jika bimbingan dan konseling dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan(yaitu mengikuti filosofi,tujuan,metode dam asas-asas tertentu),dengan kata lain dilaksanakan secara professional.
10. Pelayanan Bimbingan Dan Konseling Berpusat Pada Keluhan Pertama Saja
            Pada umumnya usaha pemberian bantuan memang diawali dengan melihat gejala-gejala dan/atau keluhan awal yang disampaikan oleh klien.Namun demikian,jika pembahasan masalah itu dilanjutkan,didalam dan dikembangkan,sering kali ternyata bahwa masalah yang sebenarnya lebih jauh,lebih luas dan lebih pelik apa yang sekedar tampak atau disampaikan itu.Bahkan kadang-kadang masalah yang sebenarnya sama sekali lain dari pada yang tampak atau dikemukakan itu.Usaha pelayanan seharusnyalah dipusatkan pada masalah yang sebenarnya itu.Konselor tidak boleh terpukau oleh keluhan atau masalah yang pertama diasampaikan oleh klien.
11.Menyamakan Pekerjaan Bimbingan dan Konseling dengan Pekerjaan Dokter atau Psikiater
                  Memang dalam hal-hal tertentu terdapat persamaan antara bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter,atau psikiater,yaitu sama-sama menginginkan klien atau pasien terbebas dari penderitaan yang dialaminya.Disamping itu,baik konselor maupun dokter atau psikiater,memakai teknik-teknik yang sudah teruji pada bidang pelayanannya masing-masing untuk mengungkapkan masalah klien/pasien,untuk melakukan prognosis dan diagnosis,dan akhirnya menetapkan cara-cara pengentasan masalah ataupun penymbuhannya.
12.Menggangap Hasil Pekerjaan Bimbingan dan Konseling Harus Segera Dilihat
                        Disadari bahwa semua menghendaki agar masalah yang dihadapi klien sesegera mungkin dapat diatasi,hasilnya pun hendaknya dapat dilihat dengan segera. Usaha-usaha bimbingan dan konseling bukanlah lampu aladin yang dalam sekekejap saja sudah dapat mewujudkan apa yang diminta.Usaha yang menyangkut aspek-aspek mental/psikologis dan tingkah laku tidaklah dapat didesak-desakkan atau dicepat-cepatkan sehingga lekas masak.
13.Menyamaratakan Cara Pemecahan Masalah bagi Semua Klien
                  Cara apapun yang akan dipakai untuk mengatasi masalah haruslah sesuai dengan pribadi klien dan berbagai hal yang terkait dengannya.Tidak ada suatu cara pun yang ampuh untuk semua klien dan semua masalah.Bahkan sering kali terjadi,untuk masalah yang sama pun cara yang dipakai perlu dibedakan.Masalah yang tampaknya”sama”setelah dikaji secara mendalam mungkin ternyata hakikatnya berbeda,sehingga diperlukan cara yang berbeda untuk mengatasinya. Pada dasarnya, pemakaian sesuatu cara tergantung pada pribadi klien, jenis dan sifat masalah, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan petugas bimbingan konseling, dan saranan yang tersedia.   
14.  Memusatkan usaha Bimbingan dan Konseling hanya pada penggunaan instrumentasi bimbingan dan konseling(Misalnya tes, inventori, angket, dan alat pengungkap lainnya)
Perlu diketahui bahwa perlengkapan dan saranan utama yang pasti ada dan dapat dikembangkan pada diri konselor ialah ketrampilan pribadi. Dengan kata lain, ada dan digunakan instrument(test, inventori, angket, dan sebagainya itu) hanyalah sekedar pembantu. Kemudian alat-alat itu tidak boleh mengganggu, menghambat, ataupun melumpuhkan sama sekali usaha pelayanan bimbingan dan konseling. Oleh sebab itu, konselor hendaklah tidak menjadikan ketiadaan instrument seperti itu sebagai alasan atau dalih untuk mengurangi, apalagi tidak melaksanakan layanan bimbingan dan konseling sama sekali. Petugas bimbingan dan konseling yang baik akan selalu menggunakan apa yang dimiliki secara optimal sambil terus berusaha mengembangkan sarana-sarana penunjang yang diperlukan.
15.  Bimbingan dan Konseling dibataai pada hanya menangani masalah-masalah yang ringan saja.
Menetapkan suatu masalah berat atau ringan, tidaklah mudah. Suatu masalah mungkin tampaknya ringan, tetapi setelah dikaji dan diungkapkan berbagai sangkut pautnya, ternyata adalah berat. Sebaliknya suatu yang tampak berat, pelik, dan sebagainya, setelah dibahas dengan baik ternyata tidak merisaukan dan dapat diatasi dengan tidak perlu bersusah payah. Dalam hal ini memberikan sifat ringan atau berat kepada masalah yang dihadapi klien tidaklah perlu dan hal itu tidak akan membantu meringankan pemecahan masalah itu sendiri. Tanpa menyebut bahwa masalah yang dihadapi itu berat atau ringan, tugas bimbingan dan konseling ialah menanganinya dengan cermat dan tuntas.


 Daftar Pustaka

1.               Buku Syamsu,LN dan A. Yuntika Nurihson,2006, Landasan Bimbingan dan Konseling, Jakarta,PT Remaja rosdakarya.

Operant Conditioning

OPERANT CONDITIONING


A.    OPERANT CONDITIONING

Pada akhir abad ke-19 di dalam salah satu penelitian pertama mengenai rasa marah, G. Stanley Hall(1899) meminta sejumlah orang untuk mendeskripsikan suatu peristiwa amarah yang telah mereka alami dan lihat. Seorang responden menceritakan anak usia 3 tahun yang menangis karena di tinggal ayahnya jalan-jalan. Anak-anak tentu saja menangis untuk berbagai alasan yang sah seperti merasakan rasa sakit, ketidaknyamanan, rasa takut, penyakit, dan rasa lelah. Tangisan ini perlu mendapatkan empati dan perhatian dari orang dewasa. Namun demikian, anak dalam penelitian Hall ini menunjukan bahwa munculnya ruangan dan tangisan ini akan memberikannya perhatian dan kemungkinan ajakan dari orang tua untuk pergi bersama. Keadaan meledak-ledak seperti ini menunjukkan salah satu hokum mendasar dari pembelajaran: perilaku akan semakin sering atau semakin jarang muncul tergantung pada konsekuensi yang mengikutinya.
Prinsip ini ada pada inti dari operant conditioning, yang merupakan jenis conditioning kedua yang dipelajari oleh mereka yang mengikuti aliran behaviorisme. Dalam conditioning klasik, tidak perlu apakah perilaku manusia atau hewan memiliki konsekuensi tertentu atau tidak. Dalam prosedur yang dilakukan Pavlor, anjing mempelajari bahwa terdapat asosiasi antara dua kejadian yang berada di luar kendali anjing(dalam hal ini adalah adanya bunyi bel dan penyajian makanan) dan hewan tersebutmendapatkan makanan entah dia menghasilkanair liur ataupun tidak menghasilkan air liur. Tetapi dalam operant conditioning, respons organisme (raungan gadis kecil tadi contohnya) bertindak atau menghasilkan pengaruh(operate) pada lingkungan. Pengaruh dan dampak ini yang kemudian akan mempengaruhi apakah respons yang sama akan muncul lagi atau tidak.
Kondisioning klasik dan kondisioning operant cenderung jenis respons yang terlibat dalam pembelajaran. Dalam kondisioning klasik, respons yang dihasilkan cenderung merupakan sesuatu yang sifatnya refleks, atau reaksi otomatis terhadap sesuatu yang terjadi di lingkungan, seperti melihat penyajian makanan atau suara bel. Biasanya, respons-respons dalam kondisioning operant sifatnya lebih rumit dan bukan sesuatu yang sifatnya refleks. Contohnya bagaimana mengendarai sepeda, menulis surat, mendaki gunung dan lain-lainnya. Atau menunjukan respons marah.


B.     LAHIRNYA BEHAVIORISME RADIKAL

Edward Thorndike (1898), yang pada saat itu adalah kandidat doctoral, melakukan percobaan dengan mengobservasi kucing-kucing ketika mereka berusaha untuk keluar darisebuah labirin yang rumit untuk memperoleh potongan ikan yang diletakkan di bagian luar labirin. Awalnya, kucing-kucing itu mencoba mencakar, menggigit, ataupun mendorong bagian-bagian dalam labirin dengan cara yang sagat acak dan tidak teratur. Kemudian setelah beberapa menit kucing-kucing itu dapat menghasilkan respons yang tepat (mengendurkan sebuah palang dalam kotak , menarik sebuah benang atau menekan sebuah tombol) dan bergerak segera ke luar kotak untuk mendapatkan penghargaan yang di ingingkan. Ketika di letakkan ke dalam kotak itu lagi, kucing itu membutuhkan waktu yang cukup singkat untuk dapat keluar, dan setelah beberapa percobaan, kucing-kucing ini dengan tepat menghasilkan respons yang dibutuhkan untuk keluar. Menurut Thorndike, respons ini telah ditanamkan dalam diri kucing melalui hasil akhir yang memuaskan. Perilaku meurut Thorndike di atur oleh konsekuensi yang mengikutinya. Menurutnya, untuk menjelaskan perilaku, kita harus melihat hal di luar individu, bukan apa yang terjadi di dalam diri individu.
Prinsip umum ini kemudian di rinci dan di kembangkan kedalam bentuk yang lebih luas oleh Burhuss Frederic Skinner (1904-1990). Skinner menyebut pendekatan ini sebagai “behaviorisme radikal” untuk membedakannya dengan behaviorisme yang di anut John Watson, yang menekankan pada kondisioning klasik. Skinner mengatakan bahwa untuk memahami perilaku, kita sebaiknya memusatkan perhatian pada penyebab eksternal dari perilaku dan konsekuensi yang mengikuti perilaku tersebut.

Dalam analisis Skinner sebuah  respons dapat menghasilkan tiga macam konsekuensi yaitu:
1.       Sebuah konsekuensi netral tidak akan meningkatkan ataupun menurunkan kemungkinan terjadinya perilaku di masa yang akan datang. Bila pegangan pintu mengeluarkan bunyi setiap kali anda membuka atau menutup pintu, tetapi anda mengabaikan bunyi itu dan hal tersebut tidak berpengaruh pada kemungkinhan anda untuk membuka pintu di masa yang akan datang, bunyi tersebut di anggap sebagai konsekuensi yang netral. Kita tidak akan membahas banyak mengenai konsekuensi yang netral ini.
2.       Reinforcement memperkuat atau meningkatkan kemungkinan terjadinya respons di masa yang akan datang. Reinforcement merupakian proses dimana sebuah stimulus atau kejadian memperkuat atau meningkatkan kemungkinan munculnya respons yang mengikutinya. Untuk para ahli behaviorisme, sebuah stimulus adalah sebuah reinforcement ketika stimulus ini memperkuat perilaku yang sebelumnya baik itu menyenangkan atau tidak menyenagkan bagi yang tidak bersangkutan. Demikian juga sebaliknya, seberapun menyenagkan atau tidaknaya sebuah stimulus, namun bila stimulus ini tidak meningkatkan kemungkinan munculnya respons maka hal ini tidak bisa disebut sebagai reinforcement.
3.      Hukuman (punishment) memperlemah respons tertentu atau mengurangi kemungkinan respons tersebut muncul di masa datang. Setiap stimulus atau kejadian yang tidak menyenangkan dapat saja menjadi sebuah hukuman. Hukuman merupakan proses dimana sebuah stimulus atau kejadian melemahkan atau menurunkan kemungkinan munculnya respons yang mengikutinya. Secara umum, semakin cepat konsekuensi suatu perilaku muncul, semakin besar pula juga dampaknya terhadap perilaku tersebut.

Reinforcemet dan hukuman primer dan skunder. Makan, minum, cahaya, usapan pada kulit dan temperature udara yang nyaman merupakan hal-hal yang secara alami memperkuat suatu respons karena mereka menghasilakan pemenuhan kebutuhan biologis kita. Karena hal ini dikenal sebagai reinforcement primer yaitu stimulus yang secara alami memperkuat suatu perilaku, biasanya karena dapat memenuhi kebutuhan fisiologis. Serupa dengan hal itu, rasa sakit dan panas atau dingin yang ekstreme merupakan hubungan yang alami dan juga disebut sebagai hukuman primer. Hukuman primer adalah stimulus yang secara alami memperlemah suatu perilaku. Uang, pujian, tepuk tangan, nilai yang baik, penghragaan merupakan reinforcement skunder yang umum kita lihat. Reinforcemet skunder disebut juga stimulus yang memiliki kemampuan untuk memperkuat perilaku melalui asosiasi dengan reinforcement lainnya. Sebaliknya, kritik, cacian, denda, teriakan marah dan niali yang jelek merupakan hukuman skunder. Yaitu stimulus yang memiliki kemampuan untuk memperlemah perilaku karena dibentuk melalui asosiasi dengan hukuman lainnya.

Reinforcement dan hukuman positif dan negative. Prosedur memperkuat perilaku dimana respons diikuti oleh penyjian atau peningkatan intensitas stimulus yang memperkuat perilaku; sebagai hasilnya, respons ini semakin kuat dan semakin mungkin terjadi disebut reinforcement positif. Contohnya jika anda memperoleh nilai yang baik setelah belajar dengan keras, usaha anda untuk belajar kemungkinan akan terus dipertahankan atau ditingkatkan. Sedangkan prosedur memperkuat perilaku diman respons diikuti oleh penghilangan, penundaan, atau pengurangan intensitas sebuah stimulus yang tidak menyenangkan; dan sebagai hasilnya, respons ini menjadi semakin kuat dan semakin mungkin terjadi disebut reinforcement negatif. Contohnya jika seseorang mengingatkan anda untuk belajar. Dan orang tersebut menjadi sangat cerewet dan menyebalkan. Ketika anda mengikuti sarannya, kemungkinan anda untuk terus belajar akan meningkat, karena anda berusaha menghindari kecerewetan orang tersebut.
Hukuman baik itu positif ataupun negative menurunkan kemungkinan munculnya respons serupa di masa yang akan datang. Dalam kehidupan sebenarnya, hukum dan reinforcement negative sering kali datang bersamaan. Bila anda menggunakan rantai anjing untuk melatih anjing anda untuk duduk, tarikan pada rantai anjing dapat bertindak sebagai hukuman atas perilaku berjalan; sedangkan meregangkan rantainya dapat bertindak sebagai reinforcement negative duduk/berdiri, diam diselah anda.
  
C.      PRINSIP CONDITIONING OPERANT
Pada awal karirnya, Skinner (1938) menggunakan kotak Skinner untuk malakukan demonstrasi klasik mengenai terjadinya kondisioning operant. Sebuah tikus, yang sebelumnya telah mempelajari bagaimana memperoleh makanan dari alat yang mengeluarkan sebuah kapsul, ditempatkan pada kotak tersebut. Karena tidak ada makanan dalam kotak tersebut, tikus itu mengendus kseana-kemari, dan secara acak menyentuh bagian-bagian dari dinding dan lantai kotak tersebut. Nyaris secara tidak sengaja, tikus tersebut menekan sebuah tuas yang terdapat pada salah satu sisi kotak, dan segera di sentuhnya, sebuah kapsul berupa makanan tikus yang sedap jatuh dan memenuhi tempat makan yang ada dalam kotak tersebut. Tikus tersebut terus melanjutkan gerakannya dan kemudian kembali menekan tuas tersebut yang membuat butiran makanan lagi-lagi memenuhi tempat makan yang ada dalam kotak. Dengan pengulangan perilaku menekan tuas yang diertai dengan tersedianya makanan, tikus tersebut mulai berperilaku teratur dan tidak lagi terlalu acak dan pada akhirnya tikus-tikus ini menekan tuas tersebut dengan lebih konsisten. Pada saat yang sama, Skinner menemukan bahwa tikus-tikus ini akan berusaha menekan tuas secepat mungkin. Sejak saat itu, para penelti aliran behaviorisme mrnggunakan kotak Skinner dan peralatan lain yang serupa untuk menemukan berbagai teknik dan aplikasi dari kondisioning operant.
     
Extinction
Extinction adalah prosedur yang menyebabkan respons yang telah di pelajari sebelumnya untuk tidak lagi muncul. Dalam kondisioning operant, extinction terjadi ketika reinforcement yang mempertahankan sebuah perilaku dihilangkan atau tidak lagi disediakan. Pada mulanya akan tetap muncul respons yang di pelajari, namun kemudian respons-respons ini secara bertahap akan berkurang dan pada akhirnya menghilang.  

Generalisasi Stimulus dan Diskriminasi Stimulus
Dalam kondisioning operant, generalisasi stimulus mungkin saja terjadi. Generalisasi stimulus adalah dalam kondisioning operant, kecenderungan resons, yang telah diberikan reinforcement (atau diberi hukuman) terhadap satu stimulus, untuk juga muncul(atau ditekan) karena hadirnya stimulus lain yang serupa. Yang dimaksud disini adalah respons-respons mungkin saja muncul(tergeneralisasikan) pada stimulus-stimulus yang tidak hadir saat terjadinya proses belajar yang sesungguhnya tetapi memiliki kemiripan atau meningkatkan organisme pada stimulus yang asli. Contohnya seekor burung dara yang telah di latih untuk mematuk pada sebuah lingkaran dapat juga mematuk pada benda-benda yang berbentuk oval. Tetapi bila anda ingin melatih burung tersebut untuk membedakan antara kedua bentuk tersebut. Anda dapat menghadirkan kedua stimulus, oval dan lingkaran, dan memberikan reinforcement hanya pada kemunculan setiap patukan pada lingkaran saja dan tidak memberikan reinforcement yang sama pada patukan bentuk oval. Pada akhirnya, yang terjadi adala diskriminasi stimulus. Diskriminasi stimulus adalah dalam kondisioning operant, kecenderungan suatu respons untuk muncul dengan adanya satu stimulus tetapi tidak dengan adanya stimulus lain yang serupa dengan stimulus tersebut pada dimensi tertentu. 
Terkadang hewan ataupunjuga manusia mempelajari untuk merespons pada satu stimulus ketika stimulus yang lain hadir, atau disebut juga sebagai stimulus diskriminatif. Stimulus diskriminatif adalah stimulus yang memberi tanda apakah respons tertentu akan diikuti oleh konsekuensi tertentu pula.stimulus diskriminan menjadi pertanda apakah sebuah respons, bial dilakukan, akan menghasilkan sesuatu yang diharapkan atu tidak.

Pembelajaran berdasarkan jadwal.
Ketika sebuah respons baru pertama kali muncul,pembelajaran biasanya akan berlangsung dengan paling cepat bila setiap respons yang diharapkan diperkuat setiap kali muncul. Prosedur ini disebut sebagai continnious reinforcement yaitu jadwal penguat dimana respons tertentu selalu diberi reinforcement. Namun demikian, ketika sebuah respons telah muncul secara reliable, respons ini akan lebih tahan terhadap extinction bila reinforcement diberikan dengan menggunakan partial reinforcement yaitu jadwal dimana respons tertentu terkadang tapi tidak selalu diberi reinforcement. Dimana reinforcement diberikan pada beberapa respons saja, dan tidak pada keseluruhan respons yang dihasilkan. Skinner(1956) menemukan fakta ini ketika dia mulai kehabisan butir makanan untuk tikus-tikusnya dan terpaksa untuk menurunkan frekuensi pemberian reinforcement. Bukan melalui penemuan ilmiah yang direncanakan sama sekali.
Pemberian reinforcement dalam cara yang tidak tepat ini membantu menjelaskan mengapa banyak orang  sering kali merasa terikat pada “topi keberuntungan” dan ritual-ritual tertentu. Seseorang pemukul baseball yang manarik kesamping topinya kesamping sebelum melakukan pemukulan. Seorang mahasiswa yang mendapatkan nilai ujian pada saat menjawab dengan menggunakan pena warna ungu, akan kemudian mengembangkan perilaku selalu mengerjakan ujian dengan pena berwarna ungu. Ritual-ritual semacam ini bertahan karena terkadang ritual-ritual ini diikuti oleh, murni secar kebetulan, rentforcement dan karenanya mereka menjadi sulit untuk dihilangkan.

Shaping.
Agar perilaku dapat diperkuat, perilaku ini harus muncul terlebih dahulu. Tetapi andaikan anda hendak melatih sebuah hamster untuk dapat mengambil kaleng, seorang anak agar dapat menggunakan pisau dan garpu dengan tepat, atau seorang teman agar dapat bermain tennis dengan hebat. Perilaku-perilaku ini, dan juga sebagian besar lainnya dalam kehidupan sehari-hari, hamper tidak dapat muncul secara spontan. Anda dapat juga menunggu sampai dengan anda tua hingga perilaku ini muncul, sehingga kemudian anda dapat memberikan reinforcement. Solusi conditioning operant untuk dilemma ini adalah sebuah prosedur yang disebut sebagai shaping. Yaitu prosedur kondisioning operant dimana setiap respons yang semakin mendekati respons yang dikehendaki diberikan reinforcement.
Dalam mekanisme shaping, anda akan memulai dengan memberikan reinforcement pada setiap kecenderungan muncul respons yang diharaokan, dan kemudian secara bertahap anda memancing munculnya respons-respons yang lebih mendekati ke tujuan akhir, atau respons yang diharapkan. Respons-respons yang anda perkuat hingga terbentuknya respons terakhir disebut sebagai successive approximation yaitu dalam prosedur konteks conditioning operant dari shapping adalah perilaku yang disusun dari kedekatan yang meningkat ke perilaku yang diharapkan.
Dengan menggunakan shaping dan teknik lainnya, Skinner dapat melatih burung dara untuk bermain ping-pong dengan paruhnya dan untuk bermain miniature “bowling” lengkap dengan bola dari kayu dan pin-pin kecil.

Batasan Biologis Pada Pembelajaran.
Setiap prinsip dari conditioning operant, terbatas atau dibatasi oleh disposisi genetic hewan maupun juga karakteristikfisiknya. Oleh karena itu, bila anda hendak menggunakan shaping untuk mengajarkan seekor ikan untuk menari samba, anda akan dapat merasa frustasi dan emikian juga pada ikan tersebut. Prosedur kondisoning operant selalu bekerja dengan sangat baik bila mempertimbangkan kecenderungan bawaan.
Killer dan Marian Brelend (1961), mempelajari bahwa apa yang terjadi bila anda mengabaikan batasan biologis dalam proses pembeljaran. Mereka menemukan bahwa hewan-hewan ini memiliki masalah dalam mempelajari tugas yang seharusnya mudah. Seekor hewan, babi, seharusnya dapat menjatuhkan sekeping kayu besar padasebuah kotak. Kenyataannya, babi ini akan menjatuhkan koin tersebut dan mendorongnya dengan hidungnya, kemudian melemparkannya ke udara, dan mendorongnya lagi. Perilaku aneh ini menunda reinforcement yang akan diberikan (makanan, yang disukai babi) jadi sangat sulit untuk menjelaskan mengapa ini terjadi dalam kerangka conditioning operant. Pasangan Breland akhirnya menyadari bahwa insting babi ini menggunakan hidungnya untuk mencari dan menggali akar-akar yang bisa dimakan, menghambatnya untuk mempelajari tugas-tugas ini. Mereka menyebut kembalinya perilaku yang instingtif tersebut sebagai intenstinctive drift. Yaitu selama proses conditioning operant, organisme cenderung kembali ke perilakunya yang alamiah.
Dalam perilaku manusia, kondisioning operant juga dipengaruhi oleh factor genetic, biolois dan juga sejarah evolusi sepesies kita. Anak manusia memiliki disposisi biologis untuk mempelajari bahasa tanpa usaha yang banyak, dan mereka mungkin juga memiliki disposisi untuk belajar sejumlah proses operant aritmatika. Lebih jauh, temperamen dan disposisi bawaan lahirnya dapat mempengeruhibagaimana seseorang merespons reinforcement dan hukuman. Akan lebih mudah untuk membentuk perilaku menari perut bila temperamaen orang tersebut lebih terbuka dan ekstrover dibandingkan dengan orang yang memiliki sifat pemalu.

D.  TEORI SKINNER: OPERANT CONDITIONING
Skinner membedakan adanya dua macam, yaitu:
A.     Renpondent response (reflexive response), yaitu respons yang ditimbulkan oleh perangsang-perangsang tertentu. Perangsang yang demikian itu, yang disebut eliciting stimuli, menimbulkan respons-respons yang secara relatif tetap, misalnya makanan yang menimbulkan keluarnya air liur. Pada umumnya, perangsang-perangsang yang demikian itu mendahului respons yang di timbulkannya.
B.     Operant response (instrumental response) yaitu respons yang timbul dan berkembangnya di ikuti oleh perangsang-perangsang tertentu. Perangsang yang demikian itu di sebut reinforcing stimuli atau reinforcer, karena perangsang-perangsang tersebut memperkuat respons yang telah dilakukan oleh organisme. Jadi, perangsang yang demikian itu mengikuti ( dan kerenanya memperkuat ) sesuatu tingkah laku tertentu yang telah di lakukan. Jika seorang anak belajar ( telah melakukan perbuatan ), lalu mendapat hadiah, maka dia akan menjadi lebih giat belajar (responsnya menjadi lebih efektif/kuat).

E.  PROSEDUR PEMBENTUKAN TINGKAH LAKU
Jika disederhanakan , prosedur pembentukan tingkah laku dalam operant conditioning itu adalah sebagai berikut:
1)      Dilakukan idektifikasi mengenai hal apa yang merupakan reinforcer (hadiah) bagi tingkah-laku yang akan dibentukkan itu.
2)      Dilakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk tingkah laku yang dimaksud. Konponen-komponen itu lalu disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya tingkah-laku yang dimaksud.
3)      Dengan mempergunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer (hadiah) untuk masing-,asing komponen itu.
4)      Melakukan pembentukan tingkah laku, dengan menggunakan urutan komponen yang telah tersusun itu. Kalau komponen pertama telah dilakukan maka hadiah diberikan; hal ini akan mengakibatkan komponen itu makin cenderung untuk sering di lakukan. Kalau itu sudah terbentuk, dilakukannya komponen kedua yang diberi hadiah ( kompomem pertama tidak memerlukan hadiah ); demikian berulang-ulang, sampai komponen kedua terbentuk. Setelah itu di lanjutkan dengan komponen ke tiga, keempat dan selanjutnya, sampai seluruh tingkah laku  yang di harapkan terbentuk.
Sebagai ilustrasi, misalnya di kehendaki agar sejumlah mahasiswa mempunyai kebiasaan membaca jurnal profesional yang terdapat di perpustakaan Fakultas pada waktu sore hari. Untuk membaca jurnal profesional seperti yang di maksudkan di atas itu, maka para mahasiswa tersebut harus:
1.      Sore hari datang ke fakultas,
2.      Masuk ruang perpuatakaan,
3.      Pergi ke tempat penyimpanan buku dan jurnal,
4.      Berhenti di tempat penyimpanan jurnal,
5.      Memilih jurnar profesional yang di maksud,
6.      Membawa jurnal itu ke ruang baca, dan
7.      Membaca jurnal tersebut.
Kalau dapat di identifikai  hadiah-hadiah (tidak harus berupa barang) bagi masing komponen tingkah laku tersebut, yaitu komponen 1 sampai dengan 7, maka akan dapat dilakukan pembentukan kebiasaan tersebut.
Apa yang di kemukakan di atas adalah suatu penyederhanaan mengenai prosedur pembentuka tingkah laku melalui operant-conditioning. Di dalam kenyataannya, prosedur itu banyak sekali variasinya dan lebih kompleks daripada apa yang di kemukakan di atas.
Teori skinner tersebut dewasa ini sangat besar pengaruhnya, terutama di amerika serikat dan negara-negara pengruhnya, konsep-konsep behavior control dan behavior modification yang sangat populer di kalangan-kalangan tertentu, bersumber pada teori ini.
Di dalam dunia pendidikan, khususnya dalam lapangan metodologi dan teknologi pengajaran, pengaruh ini sangat besar. Program-program inovatif dalam bidang pengajaran sebagian besar disusun berdasarkan atas teori skinner. Progaram-program yang demikian itu misalnya,
a)      Programmed instruction, dan sarananya Programmed book.
b)      Computer assisted instruction (CAI), dan
c)      Program yang menggunakan teaching machine.

F.  JENIS-JENIS STIMULI

1)                  Positive reinforcement: penyajian stimuli yang meningkatkan probabilitas suatu respons.
2)                  Negative reinforcement: pembatasan stimuli yang tidak menyenangkan, yang jika di hentikan akan mengkibatkan probabilitas respon.
3)                  Hukuman: pemberian stimulus yang tidak menyenangkan misalnya “contradiction or reprimand”. Bentuk hukuman lain berupa penangguhan stimulus yang menyenangkan (“removing a pleasant or reinforcing stimulus”).
4)                  Primary reinforcement: stimuli pemenuhan kebutuhan-kebutuhan phisikologi.
5)                  Secondaru or learned reinforcement.
6)                  Modifikasi tingkah laku guru: perlakuan guru terhadap murid-murid berdasarkan minat dan kesenangan mereka.
                                        
G.  PENJADWALAN REINFORCEMENT
Jadwal reinforcement mengurai tentang kapan dan bagaimana suatu respon di perbuat. Ada empat cara penjadwalan reinforcement:
1.      “fixed-ratio schedule” ; yang di dasari pada penyajian bahan pelajaran, yang mana pemberian reinforcement baru memberikan penguatan respon setelah terjadi jumlah tertentu dari respon.
2.      “variable ratio schedule”; yang di dasarkan atas penyajian bahan pelajaran dengan penguat setelah sejumlah rata-rata respons.
3.      “fixed-interval schedule” yang didasarkan atas satuan waktu tetap di antara “reinforcements”
4.      “variable interval schedule” pemberian reinforcement menurut respon betul yang pertama setelah terjadi kesalahan-kesalahan respon.

H.    OPERANT CONDITIONING DALAM KEHIDUPAN NYATA

Prinsip-prinsip kondisioning operant dapat menjelaskan banyak sekali misteri mengapa seseorang berlaku seperti apa adanya, dan mengapa, terlepas dari segala macam seminar mengenai motivasi yang telah mereka ikuti atau hadiri, atau juga setelah membuat resolusi tahun baru, mereka tetap mengalami kesulitan untuk berubah menjadi seperti yang mereka harapkan. Bila dalam dunia kerja dan rumah tangga masih tetap dipenuhi oleh reinforcement, hukuman, maupun stimulus diskriminan yang lama (bos yang selalu menggerutu, pasangan yang tidak responsive, kulkas yang senantiasa penuh dengan makanan berkalori tinggi), setiap respons baru yang telah diperoleh dapat saja gagal untuk tergeneralisasi.
Untuk membantu orang mengubah perilaku dan kebiasaan yang tidak diharapkan, berbahaya, ataupun merugikan diri sendiri, para ahli dalam aliran behaviorisme telah menggunakan prinsip-prinsip kondisioning operant diluar konterks laboratorium dan juga dalam dunia yang lebih luas, seperti dalam kelas, lapangan atletik, penjara, rumah sakit jiwa, rumah perawatan atau panti, tempat rehabilitasi, penitipan anak, pabrik, dan perusahaan. Penggunaan teknik-teknik kondisioning operant dalam latar belakang dunia nyata ini sering kali disebut sebagai modivikasi perilaku. Modivikasi perilaku adalah penerapan teknik-teknik kondisioning operant untuk mengajarkan respons baru atau untuk mengurangi atau menghilangkan perilaku maladaptive atau yang tidak diinginkan; disebut juga analisis perilaku terapan.
Modifikasi perilaku telah mencapai kisah sukses yang luar biasa(Kazdin, 2001). Para ahli behaviorisme telah mengajarkan orang tua bagaimana melatih kemampuan mengatur perilaku buang air(toilet training) anak-anaknya hanya dalam beberapa sesi(Azrir&Foxx, 1974). Mereka telah melatih orang dewasa yang mengalami gangguan jiwa maupun yang memiliki keterbelakangan mental untuk berkomunikasi, menggunakan pakaian secara mandiri, dan juga berbaur secara social dengan orang lain, dan juga mendapatkan pekerja dan dan penghasilan mereka sendiri (Lent, 1968; McLeod, 1985). Mereka telah mengajarkan kepada pasien dengan kerusakan otak untuk mengatur perilaku yang kurang tepat, memusatkan perhatian mereka, dan meningkatkan kemampuan bahasa mereka(McGlynn, 1990). Mereka telah mengembangkan program-program yang paling efektif untuk pada anak yang menderita autisme untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan social, bahaasa dan akademinya (Green, 1996 a,b). mereka telah membantu orang-orang untuk menghilangkan segala kebiasaan yang tidak diinginkan seperti merokok dan menggigit kuku, atau menghasilakn kebiasaan baru yang diharapkan seperti berlatih bermain piano ataupun belajar.
Meskipun demikian, ketika orang-orang berupaya untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip kondisioning pada masalah di tempat-tempat umum, usaha mereka sering kali gagal. Mereka mungkin saja tidak memiliki pemahaman yang kuat mengenai prinsip-prinsip perilaku, misalnya saja, mereka mungkin saja menunda pemberian penghargaan terlalu lama, atau memberikan partial reinforcement atas perilaku yang tidak diharapkan. Dan satu yang harus di ingat adalah bahwa baik hukuman dan reinforcement perilaku, memiliki keterbatasan masing-masing, seperti yang akan dilihat berikut ini :

PRO DAN KONTRA PENGGUNAAN HUKUMAN
Dalam sejumlah novel berjudul Walden two (1948/1976), Skinner membayangkan sebuah utopia dimana reinforcement digunakan dengan begitu bijaksana sehingga perilaku yang tidak diharapkan menjadi jarang muncul. Namun demikian, kita tidak hidup dalam utopia seperti itu; kebiasaan-kebiasaan buruk dan perilaku antisocial sering kali muncul di sekitar kita.
Sebuah solusi yang terlihat sangat jelas mungkin saja menjadi sebuah hukuman bagi kita. Hampir semua Negara barat telah melarang para pendidik dan kepala sekolah menggunakan hukuman fisik untuk anak-anak usia sekolah. Dalam hubungan kita dengan orang lain, sering kali kita menghukum perilaku orang lain dengan berteriak, mencela, dan menunjukkan ketidakpuasan terhadap orang lain. Apakah semua hukuman bekerja secara efektif?
           
Ketika Hukuman Berhasil
Terkadang, tidak perlu diragukan lagi bahwa hukuman dapat menjadi efektif. Contohnya, hukuman dapat menghambat atau mencegah beberapa perilaku kriminalitas remaja untuk tidak mengulangi kembali tindak criminal yang mereka perbuat. Sebuah penelitian mengenai catatan kriminalitas 1944 dan 1947 (hampir sejumlah 29.000 orang) melihat lebih jauh penangkapan kembali perilaku kriminalitas (para residivis)yang terjadi setelah mereka usia 26 tahun(Brennan&Mednick, 1944). Setelah dilakukan penahanan, dan juga hukuman, ternyata angka terjadinya penangkapan atas kejahatn kecil dan serius menurun, meskipun statistic menunjukkan angka yang relative tinggi. Namun demikian, bertentangan dengan harapan dari para peneliti, tingkat hukuman yang diberikan tidak menghasilkan perbedaan yang berarti, denda maupun masa percobaan ternyata hamper sama efektivnya dengan hukuman penjara. Apa yang sangat menjadi berpengaruh adalah adanya konsistensi dalam penerapan hukuman. Ini dapat dimengerti,  ketika para pelanggar hokum dan aturan terkadang dapat menghindari hukuman atas kejahatan yang mereka lakukan. Perilaku ini diperkuat secara berkala dan karenanya menjadi menjadi semakin sulit untuk dihilangkan.

Ketika Hukuman Gagal
Bagaimana dengan hukuman yang terjadi setiap hari dalam keluarga, sekolah, dan lingkuungan kerja? Penelitian laboratorium dan penelitian lapangan menemukan bahwa, bentuk hukuman ini juga sering kali gagal untuk alasan-alasan berikut:
1.       Orang sering kali memberikan hukuman dengan tidak tepat atau tanpa pertimbangan terlebih dahulu.
2.       Penerima hukuman sering kali merespons dengan kecemasan, rasa takut atau rasa marah.
3.       Efektivitas penggunaan hukuman sering kali bersifat sementara,bergantubg pada kehadiran orang yang memberikan hukuman ataupun situasi dan kondisi.
4.       Kebanyakan perilaku yang tidak tepat tidak dapat dihukum dengan segera.
5.       Hukuman sering kali mengandung sedikit sekaliinformasi.
6.       Perilaku yang ditujukan untuk menghukum malah mungkin dianggap sebagai reinforcement karena hal ini memberikan perhatian.

MASALAH DENGAN PENGHARGAAN
Sejauh ini, kita telah mengagung agungkan penggunaan reinforcement. Tetapi seperti halnya hukuman, reinforcement tidak selalu bekerja sesuai dengan harapan.mari kita lihat dua masalah yang muncul ketika orang menggunakan reinforcement.

Ketidaktepatan Penggunaan Penghargaan.
Andaikan saja anda adalah guru seorng sekolah dasar kelas 4, dan seorang siswa anda baru saj menyerahkan tulisan yang penuh dengan kesalahan struktur bahasa dan penggunaan tanda baca. Anak ini memiliki kepercayaan diri yang rendah dan sering kali mudah merasa menyerah dan putus asa. Apa yang sebaiknya anda lakukan? Seperti kebanyakan orang anada mungkin akan berfikir bahwa memberikan nilai yang tinggi pada tulisannya aedalah sebuah keharusan untuk mempertebal harga diri anak tersebut. Pada kenyataannya, guru-guru dimanapun juga akan memberiakn pujian, stiker bergambar wajah bahagia, atau nilai yang tinggi sebagai harapan bahwa kinerja akademi siswa tersebut akan meninggkat seiring juga dengan upaya mereka untuk belajar untuk “merasan nyaman dengan diri sendiri”- meskipun melalui penelitian telah ditemukan bahwa hargadiri yang tinggi tidak meningkatkan kinerja akademik(Baumeister dkk ,,2003). Salah satu hasil yang jelas adalah terjadinya peningkatan nilai pada setiap nilai pendidikan. Dibanyak perguruan tinggi, nilai c yang dianggap rata-rata pada masa lalu atau dinilai cukup memuaskan hamper tidak pernah lagi ditemukan.
Masalahnya, dari persepektif behaviorisme, untuk dapat menjadi penghargaan yang efektif, penghargaan harus terikat dengan perilaku yang hendak anada tingkatkan. Ketika penghargaan diberikan tanpa membedakan kinerja, tanpa usaha yang keras untuk mendapatkannya, penghargaan tersebut menjadi tidak bermakna karena mereka tidak lagi memperkuat perilaku yang diharapkan, malah yang para guru dapatkan adalah usaha yang minim atau kerja yang sedang-sedang saja. Hargadiri yang sesungguhnya muncul dari usaha, kegigihan, dan juga pencapaian bertahap dari berbagia ketrampilan. Dan dipupuk oleh apresiasi yang tulus dari guru terhadap isi atau hasil kerja siswa (Damon, 1995).

Mengapa penghargaan dapat berdampak negative.

Kebanyakan dari contoh yang diberikan mengenai kondisioning operant melibatkan reinforcement ekstrinsik. Reintforcement ekstrinsic adalah perilaku yang secara tidak alami terkait dengan aktivitas yang sedang diperkuat. Yang datang dari luar diri kita dan tidak secara alamiah terkait dengan aktifitas yang diperkuat. Uang, pujian, bintang emas, pelukan, dan acungan jempol adalah reintforcement ekstrinsik. Tetapi oarnag-orang dan mungkin pula hewan mencari reinforcement intrinsic yaitu perilaku yang secara alami terkait dengan aktivitas yang sedang diperkuat seperti kepuasan dan kesenangan melakuakan tugas tertentu serta kepuasan yang dikaitkan dengan pencapaian terteantu. Sebagaiman telah diterapkan oleh para psikolog dalam dunia nyata, mereka menemuakn bahwa reinforcement ekstrinsik terkadang menjadi terlalu berlebihan. Bial anada memusatkan perhatiaan anada hanya pada reintforcement ekstrinsik saja, reinforcement ini dapat menghilangkan rasa kesenangan melakukan hal itu sendiri.